Cari Blog Ini

Sabtu, 21 Juli 2012

Panca Sradha



Dalam Agama Hindu lima pilar sebagai dasar keyakinan disebut Panca Sradha,
Panca artinya lima dan Sradha artinya Keyakinan  terdiri dari  :
  1. Brahman artinya Umat Hindu percaya dan yakin akan adanya Tuhan Yang Maha Esa.

  2. Atman artinya Umat hindu percaya dan yakin bahwa ada percikan-percikan keTuhanan yang bersemayam dalam diri setiap mahluk hidup yang disebut Atman.

  3. Karma Phala artinya Umat Hindu yakin dan percaya bahwa setiap perbuatan sekecil apapun pasti ada akibatnya.

  4. Punarbhawa artinya Umat Hindu percaya dan yakin bahwa setiap manusia akan mengalami kelahiran kembali (reinkarnasi) untuk menyempurnakan karmanya.

  5. Moksa artinya Umat Hindu percaya dan yakin akan adanya tujuan tertinggi kehidupan adalah dalam rangka bersatunya Atman dengan Brahman
Brahman
Hindu meyakini bahwa segala apa yang ada di alam semesta ini baik mahluk hidup maupun benda mati bersumber dari penguasa tertinggi yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam Theologi Hindu, Tuhan memiliki gelar dan nama tak terhingga, setiap insan yang meyakini keberadaanNya menyebut dengan nama yang berbeda. Ada yang menyebut dengan nama Brahman, Narayana serta berbagai sebutan lainnya.Di Indonesia khususnya di Bali disebut dengan nama Hyang Widhi, Hyang Parama Wisesa, Hyang Parama Kawi dan sebagainya.
Demikian juga Brahman menurut Hindu bisa diberi gelar atau disebut sesuai dengan fungsinya. Beliau adalah MAHA, hanya saja keterbatasan manusia dalam hal memahami keberadaan Tuhan maka dalam ajaran Hindu memberikan kesempatan kepada umatnya untuk memahami sifat KeTuhanan dengan pemahaman personifikasi.
Ada juga pemberian gelar kepada Tuhan sesuai dengan fungsi beliau, yaitu :
  1. Pada saat menciptakan semua yang ada di ala mini disebut dengan Brahma ( bukan Brahman)

  2. Pada saat memelihara segala ciptaanNya beliau diberi gelar Wisnu.

  3. Sedangkan pada saat melebur  dan mengembalikan ke bentuk awalnya beliau disebut Siwa.
Konsep ini dengan asumsi bahwa segala yang ada di alam ini akan mengalami proses dari penciptaan(stiti ), pemeliharaan( utpeti) dan peleburan (pralina).
Atman
Dalam Konsep Hindu bahwa segala ciptaan Tuhan adalah berasal dari diri beliau dan nanti pada saatnya (pralaya) akan kembali kepada beliau. Segala ciptaan di alam ini adalah sebagai visualisasi keberadaan Tuhan. Segala mahluk hidup memiliki percikan-percikan partikel keTuhanan yang disebut Atman. Jadi pada dasarnya atman itu adalah suci karena bersumber dari partikel Tuhan, hanya saja karena bersentuhan dengan material ( badan/jasad mahluk hidup) dan prilaku ( karma ) maka kesucian tersebut terselubung dan dibungkus oleh  karmawasana dan suksma sarira ( badan halus). Untuk penjelasan ini anda bisa membaca proses penciptaan alam semesta ( Bhuwana Agung ) dan Proses penciptaan mahluk hidup ( Bhuwana Alit).
Karma Phala
Keyakinan ketiga dalam Agama Hindu adalah bahwa segala sesuai yang dilakukan oleh manusia pasti ada akibatnya dan setiap akibat dari perbuatan tersebut akan menjadi penyebab bagi perbuatan-perbuatan berikutnya. Pengertian Karma Phala adalah hasil perbuatan ( Karma = perbuatan ) dan ( Phala = hasil ).
Di masyarakat banyak yang salah mengartikan kata ini, kebanyakan memisahkan arti dari Karma Phala yaitu bahwa karma diartikan sebagai hasil perbuatan buruk dan phala ( pahala ) diartikan hasil perbuatan yang baik.
Kesimpulannya dalam konsep Hindu tidak ada perbuatan sekecil apapun yang tanpa hasil, tidak ada perbuatan sekecil apapun tanpa arti.
Hasil perbuatan manusia dapat diterima pada kehidupan ini ( Prarabda Karma )
Ada juga manusia pada kehidupan ini menerima hasil perbuatannya pada kehidupan di masa lalu ( Sancita Karma )
Ada pula pahala karma ( hasil perbuatan ) manusia pada kehidupan ini akan diterima pada kehidupan yang akan dating ( kryamana karma)
Kapan pahala karma akan diterima? Itu semua diatur oleh Yang Maha Kuasa dengan hukum beliau sendiri.
Punarbhawa
Artinya lahir kembali ( tumimbal lahir ). Hindu meyakini bahwa badan manusia tidak abadi, sedangkan jiwatman ( atma yang menghidupi jasad manusia) selalu mengalami kelahiran kembali menggunakan badan yang baru. Sebagaimana halnya manusia berganti pakaian karena pakaian yang lama sudah tidak layak dipakai.Kelahiran kembali jiwatman ke dunia  adalah bertujuan untuk memperbaiki karma, sehingga atman akan menjadi semakin suci. Setiap kelahiran menjadi lingkaran kehidupan sehingga beberapa kelahiran akan membentuk beberapa lingkaran. Bentuk lingkaran yang dihasilkan tergantung pada hasil karma selama hidupnya. Jika setiap kehidupan lebih banyak berbuat kebaikan ( subhakarma) maka lingkaran akan semakin mengecil sehingga akan mendekati alam kesucian (keTuhanan). Sebaliknya jika dalam kelahiran ia berbuat lebih banyak dosa maka lingkaran akan semakin melebar dan menjauh dari kesucian Tuhan.
Moksa
Moksa adalah tujuan tertinggi umat Hindu yaitu bersatunya atman dengan Brahman ( Brahman atman aikyam). Dalam setiap kehidupan sampai meninggalnya seseorang maka jiwatman ( roh manuasia) akan menerima pahala karmanya dengan masuk sorga atau neraka. Selanjutnya jiwatman lahir kembali berulang-ulang yang bertujuan untuk membersihkan jiwatman dari ikatan karma sehingga bersih dan suci sampai dapat bersatu kembali dengan yang Maha Suci yaitu Brahman. Pada tingkatan pencapaian ini maka jiwatman akan mencapai kebahagiaan abadi ( sukha tan pawali duka).

Kamis, 19 Juli 2012

BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA


. PENDAHULUAN
Hiperplasia prostat jinak adalah pembesaran kelenjar prostat yang bisa membuat sulit buang air kecil.Hipertrofi prostat benigna / pembesaran prostat jinak merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan pada usia sebelum 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai pubertas,namun ada juga peningkatan yang cepat dan kontinyu sampai usia akhir 30an.1
Hipertrofi prostat benigna timbul dalam jaringan kelenjar periurethral, yang terlibat tanpa fungsi penting prostat atau tanpa asal keganasan. Jaringan kelenjar periuretral meluas dan bagian prostat yang tertekan disebut kapsula bedah. Jaringan hiperplastik bisa terdiri dari satu diantara lima pola histologi : stroma, fibromuskular, muskular, fibroadenomatosa dan fibromioadenomatosa.

Istilah hipertrofi sendiri sebenarnya kurang tepat karena sebenarnya yang terjadi adalah hiperplasi kelenjar periuretral yang kemudian mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan kemudian menjadi simpai bedah / kapsul bedah.Hiperplasia menyebabkan pembesaran prostat yang dapat membatasi aliran urin dari kandung kemih. 1,5,9,12,13,18
Kegagalan berkemih hasil dari pembesaran kelenjar prostat dan obstruksi kandung kemih disebut gejala saluran kemih bawah(LUT).Tidak semua laki-laki dengan BPH memiliki gejala saluran kemih bawah, dan, juga, tidak semua laki-laki dengan LUT memiliki BPH. Sekitar setengah dari pria didiagnosis dengan BPH histopatologi menunjukkan LUT sedang sampai parah. Manifestasi klinis dari LUT meliputi frekuensi kencing, urgensi, nokturia (bangun di malam hari saat tidur untuk buang air kecil), memaksa penurunan atau sebentar-sebentar aliran, atau sensasi dari pengosongan lengkap kurang. Komplikasi jarang terjadi tetapi mungkin termasuk retensi urin akut ,gangguan pengosongan kandung kemih, atau kebutuhan untuk operasi korektif.9,10,12
Volume prostat dapat meningkat dari waktu ke waktu pada pria dengan BPH. Selain itu, aliran urin puncak, volume sisa urin , dan gejala-gejala dapat memburuk dari waktu ke waktu pada laki-laki dengan BPH tidak diobati. 12
. INSIDENS DAN EPIDEMOLOGI
BPH dianggap sebagai bagian normal dari proses penuaan pada pria dan hormon tergantung pada testosteron dan dihidrotestosteron (DHT) yang diproduksi. Diperkirakan 50% laki-laki yang berumur 50 tahun dan 80-90% laki-laki yang berumur 80 tahun  menunjukkan BPH histopatologi12.Dengan demikian, peningkatkan ukuran kelenjar dianggap normal dari proses penuaan. Di Amerika Serikat pada tahun 2000, ada 4,5 juta kunjungan ke dokter untuk BPH11,14.
. ANATOMI
Prostat adalah kelenjar seukuran kenari yang merupakan bagian dari sistem reproduksi laki-laki. Kelenjar ini terbuat dari dua lobus, atau wilayah, tertutup oleh lapisan luar dari jaringan. Gambar menunjukkan, prostat terletak di depan rektum dan tepat di bawah kandung kemih, dimana urin disimpan. prostat juga mengelilingi uretra.3,13,14 Prostat adalah suatu organ kelenjar yang fibromuskular,yang terletak persis di bawah kandung kemih.Berat Prostat pada orang dewasa normal kira-kira 20 gram,didalamnya terdapat urethra posterior dengan panjangnya 2,5-3cm.Pada bahagian anterior disokong oleh ligamentum pubo prostatika yang melekatkan prostat pada simpisis pubis.Pada bagian posterior prostat terdapat vesikula seminalis,vas deferen,fasia denonvilliers dan rectum.Fasia denonvilliers berasal dari fusi tonjolan dua lapisan peritoneum,fasia ini cukup keras dan biasanya dapat menahan invasi karsinoma prostat ke rectum sampai suatu stadium lanjut. Pada bahagian posterior ini, prostat dimasuki oleh ductus ejakulatorius yang berjalan secara oblique dan bermuara pada veromentanum didasar urethra prostatika persis dibahagian proksimal spingter eksterna. Pada permukaan superior, prostat melekat pada bladder outlet dan spingter interna sedangkan dibagian inferiornya terdapat diafragma urogenitalis yang dibentuk oleh lapisan kuat fasa pelvis, dan perineal membungkus otot levator ani yang tebal. Diafragma urogenital ini pada wanita lebih lemah oleh karena ototnya lebih sedikit dan fasia lebih sedikit.1



(Gambar menunjukkan perbedaan antara prostat yang normal dan yang mengalami pembesaran.22)
IV.Histologi
Prostat terdiri atas 30-50 kelenjar tubulo alveolar yang mencurahkan sekretnya ke dalam 15-25 saluran keluar yang terpisah. Saluran ini bermuara ke uretra pada kedua sisi kolikulus seminalis. Kelenjar ini terbenam dalam stroma yang terutama terdiri dari otot polos yang dipisahkan oleh jaringan ikat kolagen dan serat elastis. Otot membentuk masa padat dan dibungkus oleh kapsula yang tipis dan kuat serta melekat erat pada stroma. Alveoli dan tubuli kelenjar sangat tidak teratur dan sangat beragam bentuk ukurannya, alveoli dan tubuli bercabang berkali-kali dan keduanya mempunyai lumen yang lebar, lamina basal kurang jelas dan epitel sangat berlipat-lipat. Jenis epitelnya berlapis atau bertingkat dan bervariasi dari silindris sampai kubus rendah tergantung pada status endokrin dan kegiatan kelenjar. Sitoplasma mengandung sekret yang berbutir-butir halus, lisosom dan butir lipid. Nukleus biasanya satu, bulat dan biasanya terletak basal. Nukleoli biasanya terlihat di tengah, bulat, dan kecil.
V. ETIOLOGI
Penyebab Benign prostate hyperplasia tidak di ketahui.BPH dianggap sebagai bagian normal dari proses penuaan pada pria dan hormon tergantung pada testosteron dan dihidrotestosteron (DHT) yang diproduksi.Salah satu teori ialah teori testosterone(T) iaitu T bebas yang dirubah menjadi Dehydrotestosterone(DHT) oleh enzim 5 a reduktase yang merupakan bentuk testosterone yang aktif yang dapat ditangkap oleh reseptor DHT didalam sitoplasma sel prostat yang kemudian bergabung dengan reseptor inti sehingga dapat masuk kedalam inti untuk mengadakan inskripsi pada RNA sehingga akan merangsang sintesis protein.Teori yang disebut diatas menjadi dasar pengobatan BPH dengan inhibitor 5a reduktase. 3,5,10,12
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH adalah:
  • Peranan dari faktor pertumbuhan sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
  • Meningkatkan lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
  • Teori sel stem menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.1

ⅤI. PATOFISIOLOGI
Penyebab BPH belum diketahui dengan pasti, ada beberapa pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit dari androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan bantuan enzim 5-α reduktase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan prostat. Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor komplek. Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel. Adanya anggapan bahwa sebagai dasar adanya gangguan keseimbangan hormon androgen dan estrogen, dengan bertambahnya umur diketahui bahwa jumlah androgen berkurang sehingga terjadi peninggian estrogen secara retatif.
Diketahui estrogen mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian tengah, lobus lateralis dan lobus medius) hingga pada hiperestrinism, bagian inilah yang mengalami hiperplasia .
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding .
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal5,14,19.





ⅥI. DIAGNOSIS

A.GAMBARAN KLINIS
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan diluar saluran kemih.
1. Gejala pada saluran kemih bagian bawah
Disebut juga Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) atau Prostatismus. Terdiri atas gejala obstruksi dan iritasi.
a. Gejala Obstruksi
  • Hesitansi ketika menunggu saat permulaan miksi
  • Pancaran miksi lemah 
  • Intermitensi atau pancaran miksi terputus-­putus
  • Miksi tidak puas
  • Menetes setelah miksi
b. Gejala Iritasi
  • Frekuensi
  • Nokturi
  • Urgensi
  • Disuri
Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi buli-buli untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami kepayahan sehingga jatuh ke fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urine akut. Timbulnya dekompensasi buli-buli disebabkan oleh beberapa faktor yaitu volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh, massa prostat tiba-tiba membesar dan setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor atau yang dapat mempersempit leher buli-buli.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhannya berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (merupakan tanda hidronefrosis) atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
3. Gejala di luar saluran kemih
Kadang pasien datang ke dokter mengeluhkan adanya hernia inguinalis atau haemorrhoid. Timbulnya kedua penyakit ini mungkin karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal.
Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa di daerah supra simfisis akibat retensi urin. Kadang didapatkan urine yang selalu menetes tanpa disadari oleh penderita, yang merupakan pertanda dari irikontinensia paradoksa.
Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan prostat.
Pada perabaan dengan colok dubur perlu diperhatikan
  • Konsistensi  prostat (pada pembesaran jinak, konsistensinya kenyal)
  • Adakah asimetri
  • Adakah nodul pada prostat
  • Apakah batas atas dapat diraba
Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui dengan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada hipertrofi prostat.
Derajat berat obstruksi dapat pula diukur dengan mengukur pancaran urin pada waktu miksi, yang disebut uroflowmetri. Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan pancaran menurun antara 6-8 ml/detik, sedangkan pancaran maksimal menjadi 15 ml/detik atau kurang. 2,5,6,10,13,14
,18
 
Derajat Berat BPB berdasarkan Gambaran Klinik




B. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
BNO-IVP
BNO-IVP adalah pemeriksaan radiologi dengan menggunakan kontras untuk menilai sistem urinarius. Pada pemeriksaan ini, kontras disuntikkan melalui vena dan kemudian difoto menggunakan sinar x. Kontras tersebut berguna agar urine menjadi terlihat pada sinar x dan bila ada halangan atau hambatan pada saluran kemih maka akan terdeteksi.Media kontras yang digunakan adalah yang berbahan iodium, dimana jumlahnya disesuaikan dengan berat badan pasien, yakni 1-2 cc/kg berat badan.
Pada BPH dengan BNO-IVP ditemukan :
a. Indentasi caudal buli-buli
b. Elevasi pada intraureter menghasilkan bentuk J-ureter (fish-hook appearance)
c. Divertikulasi dan trabekulasi vesika urinaria 7,19

     Indikasi Pemeriksaan BNO-IVP adalah renal agenesis,polyuria,BPH(benign prostatic hyperplasia),congenital anomaly(duplication of ureter and pelvis,ectopic kidney,horseshoe kidney,malroration), hydroneprosis,pyelonepritis,dan hipertensi renal.
 Kontra Indikasi
  • Alergi terhadap media kontras
  • Pasien yang mempunyai kelainan atau penyakit jantung
  • Pasien dengan riwayat atau dalam serangan jantung 
  • Multi myeloma
  • Neonatus 
  • Diabetes mellitus tidak terkontrol/parah
  • Pasien yang sedang dalam keadaan kolik
  • Hasil ureum dan creatinin tidak normal
Persiapan Pasien 
    1. Pasien makan bubur kecap saja sejak 2 hari (48 jam) sebelum pemeriksaan BNO-IVP dilakukan.
    2. Pasien tidak boleh minum susu, makan telur serta sayur-sayuran yang berserat.
    3. Jam 20.00 pasien minum garam inggris (magnesium sulfat), dicampur 1 gelas air matang untuk urus-urus, disertai minum air putih 1-2 gelas, terus puasa.
    4. Selama puasa pasien dianjurkan untuk tidak merokok dan banyak bicara guna meminimalisir udara dalam usus. 
    5. Jam 08.00 pasien datang ke unit radiologi untuk dilakukan pemeriksaan, dan sebelum pemeriksaan dimulai pasien diminta buang air kecil untuk mengosongkan blass.
    6. Yang terakhir adalah penjelasan kepada keluarga pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan dan penandatanganan informed consent.20
7. Kriteria Gambar 
  1. Foto 5 menit post injeksi
    • Tampak fungsi sekresi dan ekskresi ginjal
  2. Foto 15 menit post injeksi 
    • Tampak kontras mengisi system pelviocalyseal.
  3. Foto 30 menit post injeksi (full blass)
    • Tampak vesica urinaria terisi penuh oleh kontras 
  4. Foto Post Mixi 
    • Tampak vesica urinaria yang telah kosong.

Gambar 1.Tampak pemeriksaan BNO-IVPdengan urogram normal20.

 
Gambar 2.Tampak “Fish Hook appearance”(di tandai dengan anak panah) pada gambar di atas.24


KELEBIHAN DAN KEKURANGAN IVP
  • Kelebihan 
    1. Bersifat invasif.
    2. IVP memberikan gambaran dan informasi yang jelas, sehingga dokter dapat mendiagnosa dan memberikan pengobatan yang tepat mulai dari adanya batu ginjal hingga kanker tanpa harus melakukan pembedahan
    3. Diagnosa kelainan tentang kerusakan dan adanya batu pada ginjal dapat dilakukan.
    4. Radiasi relative rendah 5. relative aman
  • Kekurangan 
    1. Selalu ada kemungkinan terjadinya kanker akibat paparan radiasi yang diperoleh.
    2. Dosis efektif pemeriksaan IVP adalah 3 mSv, sama dengan rata-rata radiasi yang diterima dari alam dalam satu tahun.
    3. Penggunaan media kontras dalam IVP dapat menyebabkan efek alergi pada pasien, yang menyebabkan pasien harus mendapatkan pengobatan lanjut. 
    4. Tidak dapat dilakukan pada wanita hamil.20
 
USG
USG dapat dilakukan secara transabdominal atau transrektal (trans rectal ultrasography = TRUS). Selain untuk mengetahui pembesaran prostat, pemeriksaan ini dapat pula menentukan volume vesika urinaria, mengukur sisa urin dan keadaan patologi lain seperti divertikel, tumor dan batu. Dengan TRUS dapat diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat. Jika ada kecenderungan ke arah keganasan/kanker prostat maka pemeriksaan dengan USG ini dianjurkan.19
Pada USG :
o Pembesaran kelenjar pada zona sentral
o Nodul hipoechoid atau campuran echogenic
o Kalsifikasi antara zona sentral
o Volume prostat > 30 ml
8


 
Gambar 3.Tampak ukuran prostat membesar,tampak indentasi caudal ke buli-buli.23

CT scan
CT Scan adalah salah satu peralatan radiodiagnostik dengan menggunakan sinar-x. pada dasarnya gambar yang dihasilkan merupakan pemetaan dari penyerapan objek terhadap sinar-x . Perbedaan mendasar dengan pemotretan sinar-x biasa (konvensional) adalah gambar yang ditampilkan merupakan gambar potongan axial, sedangan dengan pemotretan sinar-x konvensional gambar yang dihasilkan adalah gambaran AP,PA atau lateral. Dengan kata lain CT Scan adalah alat yang dapat menghasilkan gambar potongan axial.
Pada CT-Scan pada BPH ditemukan gambaran ukuran prostat membesar di atas ramus superior simfisis pubis. 8



 
Gambar 4.Tampak ukuran prostat membesar di atas ramus superior simfisis pubis.16

C.PEMERIKSAAN LABORATORIUM

  • Sedimen urin diperiksa karena kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi pada saluran kemih
  • Kultur urin untuk mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan
  • Pemeriksaan darah
    • elektrolit
    • ureum (blood urea nitrogen)
    • kreatinin3
 
Untuk mengetahui fungsi ginjal.
  • Prostate Specific Antigen (PSA) di periksa untuk mengetahui adanya keganasan
Pemeriksaan lain
  • Urine Flow Study
  • Cystoscopy2,5,6,13,14,15,18

ⅦI. DIAGNOSIS BANDING
Kanker Prostat
Kanker prostat adalah penyakit kanker yang berkembang di prostat, sebuah kelenjar dalam sistem reproduksi lelaki. Hal ini terjadi ketika sel prostat mengalami mutasi dan mulai berkembang di luar kendali. Sel ini dapat menyebar secara metastasis dari prostat ke bagian tubuh lainnya, terutama tulang dan lymph node. Kanker prostat dapat menimbulkan rasa sakit, kesulitan buang air kecil, disfungsi erektil dan gejala lainnya17.
Jika pada pemeriksaan colok dubur ditemukan benjolan, maka dilakukan pemeriksaan USG.Dengan melakukan rontgen atau skening tulang, bisa diketahui adanya penyebaran kanker ke tulang.21

Aksial transrectal ultrasonografi (TRUS) scan menunjukkan area hypoechoic luas (panah) di daerah tepi kanan. Biopsi mengungkapkan adenokarsinoma prostat. 17


Aksial transrectal sonogram pada pasien dengan hasil normal selama pemeriksaan colok dubur dan antigen prostat-khusus (PSA) tingkat 9 ng / mL. Gambar menunjukkan daerah yang luas hypoechoic bilateral tetapi sebagian besar sisi kiri di daerah tepi (panah). Biopsi menegaskan Gleason kelas 8 kanker prostate.Ketidakteraturan Minor capsular hadir di sebelah kiri, ini adalah konsisten dengan tumor T3. 17

 

 Metastasis kanker prostat (panah) melibatkan jaringan lunak di sisi kanan dasar tengkorak. Pasien disajikan dengan sisi kanan palsi saraf kranial XII. 17


ⅧI. PENGOBATAN
Terdapat 2 jenis obat yang di gunakan untuk mengobati BPH iaitu:
·         Alfa-blockers-obat ini membantu relaksasi fiber-fiber otot yang ada di prostat ini dapat menghalang dari terjadi obstruksi saluran kemih.Obat ini tidak mereduksi saiz prostat.Contohnya terazosin (Hytrin), alfuzosin (Xatral) dan tamsulosin (Flomax MR).
·         5-alpha-reductase inhibitors seperti finasteride (Proscar) menghalang pembesaran prostat dan mengurangi saiz kelenjar itu.15
Pembedahan
Pembedahan merupakan “gold standard” untuk mengobati dan mengurangi simptom-simptom BPH.Jenis pembedahan yang tersering adalah TURP(Transurethral resection of the prostate) iaitu mengeluarkan bahagian yang mengalami pembesaran.Jika pembesarannya sedikit maka kaedah TUI(Transurethral incision) dijalankan.5,15


Contoh Pembedahan yang lain:
  • Microwave thermotherapy
Dalam pengobatan ini, tisu-tisu prostat ini dipanaskan sehingga 45ºC.Ini mengurangi saiz prostat menyebabkan sel-sel di central prostat mati. Pengobatan ini dijalankan melalui urethra.
  • Electrovaporisation
       Dalam prosedur ini tisu prostat yang bermasalah di keluarkan dengan cara     
       evaporasi dengan menggunakan arus listrik. Terapi ini di jalankan melalui    
       endoscopy.
  • Laser-resection
Ini adalah pengobatan secara endoskopi, tisu –tisu prostat di keluarkan dengan laser.Satu saluran di bentuk dengan memasukkan satu tube yang di perbuat dari besi atau plastik yang menetap di tempat yang ada obstruksi di urethra yang disebabkan oleh prostat.Terapi ini jarang di jalankan.15

VIIIII.Komplikasi benign prostatic hiperplasia16:
  • Retensi urin
  • hydronephrosis and hydroureter dan kegagalan ginjal
  • Infeksi saluran kemih yang sering
  • Diverticula vesika urinaria
  • Hematuri yang sering
Sumber: disini

Selasa, 17 Juli 2012

Pencegahan Striktur Uretra Pada Pemasangan Kateter Uretra pada Laki-Laki

Pendahuluan
Bali merupakan pulau yang menjadi tujuan wisata. Wisatawan yang datang ke Bali tidak hanya berasal dari daerah Indonesia tapi juga berasal luar negeri. Kebanyakan dari wisatawan asing tersebut menjadikan Bali sebagai tempat berlibur. Sebagai sebuah pulau yang didatangi wisatawan asing jutaan orang tiap tahunnya, diperlukan tenaga kesehatan yang profesional. Salah satu kasus yang mungkin ditemui oleh para dokter yang bertugas di Bali adalah retensi urin akut. Retensi akut ini dapat disebabkan oleh banyak hal. Penyebabnya dapat berupa benign prostatik hiperplasia, batu uretra, striktur uretra, dan lain-lain. Pemasangan kateter uretra menjadi penatalaksanaan pertama yang bisa dilakukan.
Retensi urin akut adalah ketidakmampuan secara mendadak untuk urinasi (miksi) dan biasanya merupakan kondisi simptomatik dari prekursor kondisi lain yang memerlukan penanganan medis yang segera. Kateterisasi uretra adalah prosedur medis rutin yang memfasilitasi drainase langsung dari kandung kemih.1 Pemasangan kateter uretra menjadi terapi akut pada pasien yang mengalami retensi urin akut.
Salah satu penyebab striktur uretra adalah pemasangan kateter dalam waktu yang cukup lama. Pola penyakit striktur uretra yang ditemukan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung menyebutkan sebagian besar pasien (82%) masuk dengan retensi urin. Penyebab utama terjadinya striktur adalah manipulasi uretra (44%) dan trauma (33%).5 Salah satu manipulasi uretra adalah pemasangan kateter Folley.
Studi yang dilakukan di India menyebutkan penyebab dari striktur uretra meliputi trauma pelvis (54%), post-kateterisasi (21,1%), infeksi (15,2%), dan post-instrument (5,6%). Study ini menunjukkan kesimpulan bahwa etiologi diatas menentukan prognosis dari penatalaksanaan striktur uretra.6 Studi yang dilakukan oleh Lumen,et all juga mendapatkan hasil7 sebanyak 45,5% striktur uretra disebabkan iatrogenik yang didalamnya termasuk reseksi transuretral, kateterisasi uretra, cystoscopy, prostatectomy, brachytherapy, dan pembedahan hypospadia.8 Penelitian ini menjadi penting mengingat prosedur pemasangan kateter uretra merupakan prosedur rutin pada penanganan kasus retensi urin akut seperti benign prostat hiperplasia, adanya bekuan darah, urethritis, kronik obstruksi yang menyebabkan hidronefrosis, dan dekompresi kantung kemih akibat permasalahan saraf.17
Keteterisasi urin merupakan salah satu tindakan yang membantu eliminasi urin maupun ketidakmampuan melakukan urinasi. Prosedur pemasangan kateter uretra merupakan tindakan invasif. Pasien akan dipasangkan sejenis alat yang disebut kateter Dower pada muara uretra. Dalam melakukan prosedur ini diperlukan keprofesionalan. Banyak pasien merasa cemas, takut akan rasa nyeri, dan tidak nyaman pada saat dilakukan kataterisasi uretra. Hasil studi11 dari Mushhab,2006 menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara lama waktu terpasang kateter dengan tingkat kecemasan pada pasien yang terpasang kateter uretra.
Melihat data diatas timbul ide untuk mencegah terjadinya striktur uretra pada pemasangan kateter uretra. Dengan berkurangnya angka kejadian diharapkan tindakan pembedahan yang dilakukan pada pasien tidaklah terlalu banyak. Selain itu lama pasien menjalani rawat inap juga akan berkurang sehingga angka morbiditas akan berkurang. Hal ini mengingat penatalaksanaan yang paling banyak dilakukan di pusat rujukan urologi adalah pembedahan guna merekontruksi saluran uretra yang mengalami striktur. Selain itu terdapat resiko terjadi striktur uretra yang berulang setelah menjalani prosedur pembedahan.
Tinjauan Pustaka
Striktur Uretra
Anatomi dan histologi uretra pria. Panjang uretra pria adalah 15-20cm. Uretra dibagi menjadi segmen anterior dan posterior. Uretra anterior (dari distal ke proksimal) meliputi meatus, fosa navicularis, uretra penis atau pendulous, dan uretra bulbar. Uretra posterior (dari distal ke proksimal) termasuk uretra membranosa dan uretra prostatik.2
Uretra terletak dalam korpus spongiosum, dimulai pada tingkat uretra bulbar dan meluas sepanjang uretra penis. Uretra bulbar dimulai dari akar penis dan berakhir pada diafragma urogenital. Uretra penis memiliki posisi yang lebih sentral pada korpus spongiosum, berbeda dengan uretra bulat yang lebih di dorsal.2
Uretra membranosa melibatkan segmen memanjang dari diafragma urogenital sampai verumontanum. Uretra prostatik meluas kearah proksimal dari verumontanum ke leher kandung kemih. Dari eksternal ke internal, soft-tissue jaringan penis adalah kulit, superficial (dartos) fasia, deep (Buck) fasia, dan tunika albuginea yang mengelilingi korpus kavernosum dan spongiosum.2
Pendarahan superfisial ke penis berasal dari pembuluh pudenda eksternal, yang bersumber dari pembuluh femoral. Pembuluh pudenda eksternal bercabang menjadi pembuluh darah superfisial penis dorsal yang berjalan dorsolateral dan ventrolateral sepanjang batang penis, menyediakan pasokan pembuluh darah untuk fasia dartos dan kulit. Struktur dalam penis menerima suplai arteri dari arteri penis komunis, yang berasal dari arteri pudenda interna. Skrotum menerima suplai darah melalui cabang-cabang dari arteri pudenda baik eksternal dan internal.2
Gambar 2.1. Uretra Pria3
Gambar 2.1. Uretra Pria3
Sedangkan dari segi histologi13, uretra pria dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu uretra prostatik, uretra membranous, dan uretra spongi (penile uretra). Uretra prostatik, memiliki panjang 3-4cm, terletak disekitar kelenjar prostat. Daerah ini dilapisi oleh epitelium transisional dan terdapat banyak lubang yang berasal dari prostat dan sepasang saluran ejakulasi. Uretra membranous hanya memiliki panjang 1-2cm. Daerah ini dilapisi epitel kolumnar berlapis yang diselingi dengan bercak epitel kolumnar pseudostratified. Uretra spongi (penile uretra) merupakan bagian yang terpanjang dengan panjang sekitar 15 cm. Daerah ini memanjang sepanjang penis dan berakhir pada ujung glan penis. Uretra spongi dilapisi oleh epitel kolumnar bertingkat diselingi dengan bercak kolumnar pseudostratified dan epitel skuamosa berlapis nonkeratinized. Bagian terminal yang diperbesar dari uretra pada glans penis (fosa navicular) dibatasi oleh epitel skuamosa berlapis nonkeratinized.
2.1.2 Etiologi dan patogenesis
Penyebab paling umum dari striktur uretra saat ini adalah traumatik atau iatrogenik. Penyebab yang lebih jarang ditemui adalah peradangan atau infeksi, keganasan, dan kongenital. Striktur akibat infeksi biasanya merupakan gejala sekunder dari urethritis gonococcal, yang masih umum di beberapa populasi berisiko tinggi.2
Penyebab yang paling penting adalah idiopati, reseksi transurethral, kateterisasi uretra, fraktur panggul dan operasi hipospadia. Penyebab iatrogenik keseluruhan (reseksi transurethral, kateterisasi uretra, sistoskopi, prostatektomi, operasi brachytherapy dan hipospadia) adalah 45,5% dari kasus striktur. Pada pasien yang lebih muda dari 45 tahun penyebab utama adalah idiopati, operasi hipospadia dan fraktur panggul. Pada pasien yang lebih tua dari 45 tahun penyebab utama adalah reseksi transurethral dan idiopathy. Penyebab utama penyakit penyempitan multifokal/panurethral adalah kateterisasi uretra anterior, sedangkan fraktur panggul adalah penyebab utama dari striktur uretra posterior.8
Segala proses yang melukai lapisan epitelium uretra atau di bagian korpus spongiosum pada proses penyembuhannnya akan menghasilkan jaringan parut tau scar. Hal ini akan menyebabkan striktur uretra anterior. Sebagian besar striktur uretra disebabkan oleh trauma, biasanya stradle trauma. Trauma ini biasanya tidak dirasakan sampai pasien mengeluh kesulitan BAK yang merupakan tanda dari obstruksi oleh karena striktur atau scar. Trauma iatrogenik juga dapat menyebabkan striktur uretra. Namun dengan berkembangnya endoskopi yang kecil dan pembatasan indikasi sistoskopi pada pria membuat kejadian striktur uretra lebih sedikit. Jejas pada urethra posterior yang berakibat terjadinya striktur berhubungan dengan fibrosis periurethral yang luas.3
Striktur akibat radang berhubungan dengan gonorrhea adalah penyebab paling sering pada masa lalu dan sekarang sangat jarang ditemui. Dengan penanganan antibiotik yang tepat dan efektif, urethriris gonococcal jarang menjadi striktur uretra. Sampai hari ini belum jelas hubungan antara uretritis nonspesifik dengan striktur uretra anterior.3
Karakteristik dari striktur adalah perubahan epitel uretra oleh jaringan fibrosa padat karena tromboflebitis lokal di korpus spongiosum dalam. Epitel itu sendiri biasanya utuh, meskipun yang abnormal. Patogenesis striktur belum dipelajari secara luas dan studi yang ada menyebutkan infeksi sebagai penyebab, meskipun telah ada studi pada model binatang yang mempelajari trauma elektro-koagulasi pada uretra kelinci sebagai model cedera iatrogenik. Lokasi dari kelenjar uretra berhubungan dengan tempat kejadian infeksi yang berhubungan dengan striktur yang mengimplikasikannya sebagai penyebab. Namun, satu-satunya studi tentang patogenesis penyakit striktur menunjukkan bahwa perubahan yang utama adalah metaplasia epitel uretra dari normal jenisnya pseudo-kolumnar bertingkat pada epitel skuamosa berlapis. Ini adalah epitel yang rapuh, dan ini cenderung untuk robek saat terjadi distensi selama berkemih. Robekan tersebut akan membuat lubang di epitel menyebabkan ekstravasasi urine saat berkemih yang memicu untuk terbentuknya fibrosis subepitel. Pada penampakan mikroskopis, tempat terjadinya robekan terbentuk fibrosis dan menyatu selama periode tahun untuk membentuk plak makroskopik, yang kemudian dapat menyempitkan uretra jika mereka menyatu di sekitar lingkar uretra untuk membentuk sebuah cincin yang lengkap. Dalam model pembentukan striktur, infeksi bakteri dapat menginduksi metaplasia skuamosa, dan faktor lainnya dapat berupa bahan kimia, fisik atau biologis.14
image
Diagram 1. Patogenesis terjadinya striktur14
image
Gambar 2.2. Anatomi striktur uretra anterior meliputi, dalam banyak kasus, yang mendasari spongiofibrosis. A, Sebuah lipat, mukosa. B, Iris penyempitan. C, Full-ketebalan keterlibatan dengan fibrosis minimal dalam jaringan spons. D, Full-ketebalan spongiofibrosis. E, Peradangan dan fibrosis yang melibatkan jaringan luar korpus spongiosum. F, striktur kompleks rumit dengan fistula3
Epidemiologi. Kejadian striktur uretra telah didokumentasikan sejak 600 tahun sebelum masehi. Menurut pendapat para ahli, pada abad ke-19 sekitar 15-20% pria dewasapernah mengalami striktur. Pada abad ke-21 ini diperkirakan di Inggris 16.000 pria dirawat di rumah sakit karena striktur uretra dan lebih dari 12.000 dari mereka memerlukan operasi dengan biaya 10 juta euro. Estimasi prevalensi di inggris sendiri adalah 10/100.000 pada masa dewasa awal dan meningkat 20/100.000 pada umur 55 sedangkan pada umur 65 tahun menjadi 40/100.000. Angka ini meningkat terus untuk pasien tua sampai 100/100.000. Hal yang sama juga dilaporkan di Amerika Serikat.14
Sebuah studi19 di Nigeria melaporkan pola striktur uretra. Dalam studi ini menyebutkan delapan puluh empat pasien (83 laki-laki dan 1 perempuan) dengan striktur uretra dilihat dalam sebuah periode dengan usia rata-rata 43,1 tahun. Trauma bertanggung jawab untuk 60 (72,3%) kasus, dengan kecelakaan lalu lintas sebanyak 29 orang (34,9%), dengan trauma iatrogenik sebesar 17 (20,5%) dari semua kasus striktur uretra. Pemasangan kateter uretra bertanggung jawab pada 13 pasien (76,5%) dari kasus iatrogenik. Uretritis purulen bertanggung jawab untuk 22 (26,5%) kasus. Lima puluh (60,2%) kasus terletak di uretra anterior sedangkan dua puluh tiga (39,8%) berada di posterior. Lima puluh tujuh pasien dilakukan urethroplasty dengan kekambuhan 14% dan 8 pasien mengalami dilatasi uretra dengan kekambuhan 50% pada 1 tahun.
Diagnosis. Striktur uretra merujuk pada penyakit uretra anterior, atau proses yang melibatkan jaringan parut pada jaringan korpus spongiosum (spongiofibrosis). Jaringan korpus spongiosum dilapisi oleh epitel uretra, dan dalam beberapa kasus, jaringan parut terbentuk memanjang melalui jaringan korpus spongiosum dan ke dalam jaringan yang berdekatan. Kontraksi bekas luka ini mengurangi ukuran lumen uretra. Sebagai contoh, jika sebuah uretra yang normal ukuran 30 French, diameternya adalah 10 mm, maka luas daerah lumen adalah sekitar 78 mm2. Jika jaringan parut telah mengakibatkan ukuran uretra menjadi 15 French, lumen hanya 55 mm2, maka berkurang 29%. Oleh karena itu jelas bahwa kontraksi luka yang disebabkan oleh striktur uretra anterior dapat menjadi tanpa gejala tetapi sebagai lumen telah jauh berkurang luasnya. Hal ini dapat dikaitkan dengan gejala gangguan berkemih.3
Sebaliknya, “striktur” uretra posterior tidak termasuk dalam definisi umum dari striktur uretra. Striktur uretra posterior adalah proses obliteratif di uretra posterior yang mengakibatkan fibrosis dan umumnya gangguan di wilayah ini yang disebabkan oleh baik trauma ataupun prostatektomi radikal. Meskipun gangguan bisa berlangsung lama pada beberapa kasus, proses sebenarnya yang melibatkan jaringan uretra biasanya terbatas. Dalam konsensus konferensi Organisasi Kesehatan Dunia, yang dimaksud striktur uretra adalah terbatas pada uretra anterior.3
Penurunan aliran urin merupakan keluhan yang paling umum. Penyemprotan atau double stream sering dikeluhkan oleh pasien, seperti menetesnya urin setelah BAK. Keluarnya cairan uretra yang kronik, pada beberapa kasus merupakan keluhan utama, hal ini mungkin saja berkaitkan dengan prostatitis kronis. Sistitis akut atau gejala infeksi terlihat pada beberapa kasus. Retensi urin akut jarang terjadi kecuali terdapat infeksi atau obstruksi prostat. Keluhan awal biasanya berubahnya frekuensi kencing dan disuria ringan.2
Pasien yang mengalami retensi urin biasanya akan dilakukan pemasangan kateter uretra. Namun bila pemasangan kateter tidak berhasil masuk ke kantung kemih, kemungkinan terdapat obstruksi. Sifat dari obstruksi ini dapat ditentukan menggunakan urethtrography retrograde dinamis.
Evaluasi radiografis pada uretra dengan studi kontras yang terbaik dilakukan dengan urethrogram retrograde atau cystourethrogram antegrade jika pasien sudah terpasang kateter suprapubik. Urethrograms retrograde dan cystourethrograms antegrade biasanya diperoleh melalui departemen radiologi, meskipun ahli urologi dapat melakukan mereka secara langsung. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosa dan menentukan sejauh mana striktur uretra. Keakurat mendokumentasikan luas dan lokasi striktur adalah penting sehingga dapat memberikan pilihan perawatan yang paling efektif yang dapat ditawarkan kepada pasien.2
image
Gambar 2.3. Retrograde urethrogram menunjukkan striktur uretra bulbar.2
image
Gambar 2.4. Urethrogram retrograde menunjukkan pan-penyakit striktur uretra.2
Untuk menentukan penatalaksanaan yang tepat, sangat penting untuk menentukan lokasi, panjang, dalam, dan ketebalan dari striktur (spongiofibrosis). Panjang dan lokasi dari striktur dapat ditentukan dengan radiography, urethroscopy, dan ultrasonography. Dalam dan tebal jaringan parut dapat diperkirakan dari pemeriksaan fisik, adanya gambaran kontras yang menempel di uretra saat pemeriksaan radiologi, dan kesan yang didapat pada pemeriksaan uretrhoscopy. Dalam dan tebal nya striktur ini sangat sulit ditentukan secara objectif. Ultrasonography tidak dapat memberikan gambaran panjangnya bagian yang mengalami fibrosis. Ultrasound dapat memberikan gambaran secara cermat berapa panjang lumen yang mengalami penyempitan.
Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur urethra dibagi menjadi 3 tingkatan31, yaitu:
1. Ringan, jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen urethra.
2. Sedang, jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen urethra.
3. Berat, jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen urethra.
4. Pada penyempitan derajat berat, kadang kala teraba jaringan keras di korpus spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.
image
Gambar 2.5. Derajat penyempitan lumen31
Penatalaksanaan. Penanganan striktur uretra telah berkembang pesat. Sebelumnya solusi yang diberikan pada pasien adalah pembedahan rekontruksi. Baik pasien dan dokter harus memiliki pemahaman yang baik tentang tujuan pengobatan sebelum memilih pengobatan. Untuk tujuan itu, pilihan pengobatan harus didiskusikan dengan pasien.3 Beberapa pasien mungkin lebih suka penatalaksanaan striktur dengan melakukan dilatasi periodik di kantor, di rumah, atau di rumah sakit daripada menjalani operasi pembedahan. Orang lain mungkin menginginkan sembuh sebagai tujuan dan memilih penatalaksanaan bedah. Tidak ada terapi medikasi yang digunakan untuk merawat striktur uretra.3
Untuk terapi bedah tertutup yang dapat ditawarkan adalah dilatasi uretra, internal urethrotomy, dan pemasangan stent uretra permanen. Pada dilatasi uretra, beberapa pasien dapat memilih untuk mengelola penyakit mereka dengan dilatasi periodik. Tujuannya adalah untuk meregangkan bekas luka jaringan parut tanpa menghasilkan komplikasi tambahan. Ini mungkin kuratif pada pasien dengan penyempitan epitel terisolasi (tidak ada keterlibatan korpus spongiosum).2
Urethrotomy internal dilakukan dengan menggores striktur menggunakan peralatan endoskopi transurethra. Sayatan memungkinkan untuk melepaskan jaringan parut. Kesuksesan tindakan ini tergantung pada proses epitelisasi pada striktur yang secara signifikan mengurangi kaliber lumen uretra. Tindakan harus dilakukan dengan tidak melukai corpora cavernosa karena ini bisa mengakibatkan disfungsi ereksi.2
Komplikasi dari tindakan ini adalah kekambuhan dari penyempitan. Penyempitan ini yang merupakan komplikasi yang paling umum. Selain itu terdapat komplikasi lain yaitu perdarahan, atau ekstravasasi cairan irigasi ke dalam jaringan perispongial, sehingga meningkatkan respon fibrosis. Tingkat keberhasilan penyembuhan dilaporkan sebesar 20% -35%, dengan tidak ada peningkatan tingkat keberhasilan dengan prosedur urethrotomy internal kedua. Biasanya, dipasang kateter uretra dan didiamkan selama 3-5 hari untuk mencegah striktur yang berulang dengan menahan kontraksi luka dan memungkinkan epitelisasi. Lamanya pemasangan kateter uretra belum terbukti mengurangi tingkat kegagalan.2 Self-kateterisasi setelah urethrotomy internal telah digunakan untuk meningkatkan angka kesembuhan dengan mempertahankan patensi dari lumen uretra. Namun, striktur biasanya kembali setelah pasien berhenti.10
Stent uretra permanen ditempatkan dengan endoskopi. Stent dirancang untuk dimasukkan ke dalam dinding uretra dan memberikan lumen yang paten. Tindakan ini sangat sukses pada pasien dengan striktur yang pendek di bulbous uretra. Komplikasi terjadi ketika stent ditempatkan uretra bulbous distal, menyebabkan rasa sakit saat duduk atau selama hubungan seksual. Komplikasi lain pemasangan stent ini adalah migrasi stent. Prosedur ini merupakan kontraindikasi pada pasien dengan striktur padat dan pada pasien yang sebelumnya melakukan rekonstruksi substitusi uretra karena memunculkan reaksi hipertrofik. Tindakan ini biasanya dijadikan solusi alternatif pada pasien yang secara medis tidak layak untuk menjalani prosedur panjang rekonstruksi uretra terbuka.2,9
Pilihan terapi yang dapat diberikan pada pasien adalah rekontruksi terbuka. Tindakan ini akan menginsisi dan menyambungkan kembali uretra. Sekarang telah ditunjukkan dengan pasti bahwa teknik yang paling diandalkan pada rekonstruksi uretra anterior adalah eksisi lengkap daerah fibrosis, dengan reanastomosis utama ujung normal dari uretra anterior. Hasil terbaik akan didapat ketika dicapai poin teknis berikut ini diamati: daerah fibrosis benar-benar dipotong, anastomosis uretra spatulated, membuat anastomosis bulat besar, dan anastomosis bebas ketegangan.3
                     image image
Gambar 2.6. Teknik eksisi dan penyambungan pada striktur uretra3
Kateter Uretra (Dower Kateter)
Jenis-jenis kateter uretra. Tersedia berbagai ukuran dan jenis dari kateter uretra. Kateter foley adalah kateter double-lumen dan memiliki ujung yang lurus. Kateter jenis ini paling sering digunakan. Jenis lainnya adalah kateter coudé. Kateter ini bersifat semirigid, ujungnya melengkung yang dapat digunakan pada pasien pembesaran prostat. Selain itu juga terdapat kateter yang memiliki tiga lumen. Kateter ini digunajan untuk mengirigasi kantung kemih. Kebanyakan kateter memilki balon pada ujungnya yang dapat diisi air. Hal ini berguna saat mempertahan posisi kateter di kantung kemih. 2,12
Untuk pria dewasa ukuran kateter yang digunakan adalah 16-18 French. Kateter yang lebih kecil (12-24 French) digunakan pada pasien yang mengalami striktur uretra. Sedangkan yang berukuran lebih besar, 20-24 French, biasanya digunakan pada pasien dengan pembesaran prostat untuk mencegah kakunya kateter bila masuk ke prostatic uretra. Kateter yang lebih besar digunakan pada pasien dengan gross hematuri untuk mencegah obstruksi saluran yang disebabkan bekuan darah dan penyebab retensi urin lainnya.2,12
                   imageimageimage
Gambar 2.7. Jenis Kateter uretra2
Beberapa kateter terbuat dari bahan lateks. Namun demikian, telah tersedia kateter yang terbuat dari bahan silikon untuk pasien yang alergi terhadap bahan lateks. Pada pasien yang memiliki resiko infeksi yang cukup besar telah tersedia kateter yang dibungkus dengan silver untuk mencegah infeksi.2
Indikasi dan kontraindikasi pemasangan kateter uretra. Kateter uretra dilakukan dengan tujuan untuk terapi dan diagnosis. Untuk terapi, kateter digunakan untuk menurunkan tekanan kantung kemih pasien dengan retensi urin akut maupun kronik yang merupakan akibat dari obstruksi vesikuler bagian bawah atau kelainan saraf pada kantung kemih. Kateterisasi dan irigasi dibutuhkan pada pasien dengan gross hematuri untuk meghilangkan darah dan gumpalannya dari kantung kemih. Untuk diagnosis, kateter uretra digunakan saat pengambilan sampel urin untuk dilakukan tes mikrobiologi, pengukuran urin yang keluar pada situasi kegawatdaruratan atau saat operasi, atau untuk mengukur volume residu setelah berkemih bila ultrasonography tidak tersedia. 2,12,30
Kateter uretra tidak dapat digunakan pada penatalaksanaan rutin pada inkonnensia urin. Bila memungkinkan, lebih baik menggunakan peralatan yang kurang invasive seperti popok, intemitant kateter, atau kateter penile-sheat. Pada kasus ini lebih baik melakukan prosedur bedah atau menggunakan obat anti-muscarinic. 2
Kontraindikasi mutlak pada kateterisasi uretra adalah jejas pada uretra, apakah dicurigai atau terkofirmasi. Injury atau jejas pada uretra biasanya terjadi pada pasien yang mengalami trauma yang berhubungan dengan pelvis atau pasien dengan patah tulang pelvis. Pada pemeriksaan fisik ditemukan darah pada meatus uretra dan gross hematuri, perineal hematoma, dan prostat yang melayang. Gambaran prostat yang melayang biasanya dikaburkan dengan adanya hematoma pelvis yang besar atau dapat juga disebabkan pasien menolak dilakukan pemeriksaan karena rasa sakit pada area tersebut. Bila hal ini terjadi, urethrography retrograde harus dilakukan sebelum pemasangan kateter.2,12,30
Relative kontraindikasi dari pemasangan kateter uretra adalah stricture uretra, baru saja dilakukan pembedahan uretra atau kandung kemih, dan pasien yang tidak kooperatif.2
Teknik pemasangan katetr uretra pada pria. Perlengkapan yang diperlukan untuk memasang kateter uretra harus lah tersedia di dekat operator sehingga mudah dijangkau. Perlengkapan tersebut adalah sarung tangan steril, larutan antiseptik, doek steril, kateter Foley, jel sebagai lubrikan, pinset dan kapas, air steril untuk mengembangkan balon, dan selang dan kantong penampung urin. Perlengkapan lainnya juga adalah lodocaine dan plester untuk mengfiksasi kateter.2,12,30
Siapkan semua perlengkapan dan letakkan di tempat yang mudah dijangkau. Pastikan balon pada kateter dapat mengembang dan pastikan katupnya berfungsi normal. Sambungkan kateter dengan selang yang terhubung dengan kantong urin.2,12,30
Posisikan pasien pada tempat tidur dengan posisi supinasi. Untuk pasien yang tidak disirkumsisi, tarik preputium kebelakang. Suntikkan larutan campuran jel dan lidocaine pada meatus uretra tanpa menggunakan jarum. Hal ini akan membantu menganastesi mukosa dan untuk meluruskan uretra. Pijat ujung uretra selama beberapa saat setelah lidocaine disuntikkan agar jeli rata di dalam uretra.2,12,30
Pemasangan kateter harus dalam keadaan steril sehingga operator harus menggunakan sarung tangan steril. Tutup bagian pubis dengan doek steril. Pegang penis dengan tangan yang tidak dominan dengan posisi tegak lurus dengan tubuh pasien. Sekarang tangan tersebut tidaklah steril sehingga tidak boleh melepaskan penis dan memegang perlengkapan yang steril. Bersihkan glan penis dengan kapas yang sudah dilumuri larutan antiseptik dengan arah melingkar.2,12,30
Lubrukasi ujung kateter dengan jeli steril sebelum memasukkannya. Bila menggunakan kateter coudé, ujung dari kateter menghadap keatas, pada arah jam 12, untuk memfasilitasi saat melewati lobus median dari kelenjar prostat. Masukkan kateter dengan gently ke meatus dan secara perlahan masukkan ke proximal uretra. Bila ditemukan tahanan pada saat memasukkan jangan dipaksakan. Hal ini dikarenakan bila dipaksakan kemungkinan akan menyebabkan trauma pada uretra. Bila terdapat tahanan dirasakan setelah masuk 16-20 cm, kemungkinan ini terjadi pada spincter external. Instruksikan pada pasien untuk menarik nafas agar lebih rileks sehingga kateter bisa masuk. Bila kateter sudah masuk ke kantung kemih, maka urin akan keluar. Masukkan kateter sampai percabangan kateter. Hal ini untuk mencegah trauma pada uretra saat mengembangkan balon.2,12,30
image
Gambar 2.8. Masukan kateter pada arah jam 122
Urin yang mengalir pada selang menandakan kateter telah berada pada posisi yang sesuai. Jika pada selang tidak mengalir, kemungkinan jeli tadi menghambat aliran urin. Suntikkan kateter dengan larutan saline untuk membersihkan kateter. Namun hal ini juga dapat terjadi bila kantung kemih dalam keadaan kosong.2,12,30
Selanjutnya kembangkan balon dengan 10 ml air. Pada tiap kateter terdapat tanda berapa banyak air yang dibutuhkan untuk mengembangkan balon. Hanya air yang dapat digunakan. Bila menggunakan udara terdapat kemungkinan akan bocor dan bila menggunakan saline kemungkinan akan mengkristal dan menyebabkan tidak berfungsinya katup atau obstruksi pada lumen yang mempersulit mengempiskan balon. Sangat penting untuk dipastikan bahwa balon tidak mengembang di uretra.2,12,30
Selanjutnya tarik kateter sampai balon berada pada posisi yang sesuai, melawan dinding kantung kemih. Kembalikan preputium ke posisi semula pada pasien yang tidak disirkumsisi untuk mencegah paraphimosis. Fiksasi kateter pada paha atau dinding abdomen dengan plester atau alat fixator lainnya. Gantungkan kantong urin lebih rendah dari pasien.2,12,30
Permasalahan saat pemasangan kateter uretra. Pada pembesaran prostat, tahanan akan dirasakan pada saat kateter sudah masuk sekitar 16-20 cm. Pada pasien seperti ini sebaikknya menggunakan kateter coudé. Bila kateter tersebut tidak ada, dapat menggunakan kateter Foley yang lebih besar, 20-24 French. Penggunaan ukuran yang lebih kecil tidak disarankan.2
Diperlukan konsultasi dengan ahli urologi bila ditemukan phimosis yang parah atau stenosis meatus atau bila terdapat tahanan lainnya saat memasukkan kateter. Bila kateter kaku di uretra dan terdapat darah, mungkin telah terjadi perforasi uretra. Kateter harus segera dilepas dan dikonsultasikan dengan ahli urologi.2
Komplikasi pemasangan kateter uretra. Infeksi saluran kemih sering terjadi pada kateterisasi uretra, terjadi 3% sampai 10% pasien perhari. Sebagian besar bersifat asimptomatik. Namun ada berkembang menjadi pyelonephritis, bakterimia, dan urosepsis. Potensi untuk penyakit serius atau kematian adalah nyata, karena nosokomial infeksi saluran kemih telah terbukti memperpanjang tetap rumah sakit selama tiga hari dan tiga kali lipat angka kematian pada pasien kateter. Pasien pada peningkatan risiko infeksi kateter terkait adalah orang tua dengan diabetes, dan mereka dengan riwayat insufisiensi ginjal, mengancam nyawa. Cara yang paling efektif untuk mencegah infeksi saluran kemih adalah untuk menghindari kateterisasi bila memungkinkan. Jika prosedur harus dilakukan, langkah-langkah pencegahan termasuk penggunaan teknik aseptik yang ketat, dan pengurangan durasi kateterisasi. Penggunaan antibiotik profilaksis rutin tidak menguntungkan dan mendorong proliferasi spesies resisten. Namun, pengobatan antibiotik harus dipertimbangkan untuk pasien berisiko tinggi infeksi dan bagi mereka yang sedang menjalani prosedur invasif tertentu, seperti reseksi transurethral pada prostat dan transplantasi ginjal.17
Komplikasi lain dari kateterisasi uretra meliputi paraphimosis dan trauma uretra dan kandung kemih. Terkadang terdapat kesulitan untuk mengempiskan balon. Hal ini karena obstruksi pada lumen sekunder atau kerusakan katup. Dalam kasus ini, memotong lengan kateter dan menghilangkan katup dapat menyelesaikan masalah. Jika gagal, konsultasikan kepada ahli urologi, karena balonmungkin perlu ditusuk dengan menggunakan pendekatan suprapubik dan ultrasonografi.17
Hubungan Pemasangan Kateter Uretra dengan Striktur Uretra
Kunci penting permasalahan striktur uretra adalah terbentuknya jaringan parut atau scar di dalam lumen uretra. Terbentuknya jaringan parut ini adalah sebuah proses imun tubuh guna memperbaiki kerusakan yang dialami oleh tubuh. Setidaknya terdapat dua hal yang menyebabkan terbentuknya jaringan parut, yakni proses inflamasi dan infeksi. Pada beberapa studi juga menyebutkan sistem saraf berperan pada terjadinya striktur uretra17, namun penelitian itu hanya dilakukan pada tikus percobaan.
Inflamasi pada striktur uretra. Studi pada penggunaan kateter uretra Batch menyebutkan keterkaitan pembentukan striktur selama penggunaan dengan peradangan akut dan kronis yang ditandai setelah implantasi subkutan pada tikus. Tingkat peradangan tidak berkorelasi dengan kekasaran permukaan kateter yang dinilai dari pemindaian mikroskop elektron, tetapi menunjukkan hubungan yang sangat baik dengan efek sitotoksik ekstrak yang larut dari kateter pada makrofag dalam kultur jaringan. Temuan menunjukkan bahwa pembentukan striktur dapat diinduksi oleh zat kimia dan tidak mungkin berhubungan dengan kekasaran permukaan kateter.15 Walaupun belum jelas bagaimana zat kimia dapat menyebabkan striktur, namun diperkirakan berperan penting adalah proses imunitas berupa inflamasi lokal yang terjadi di lumen uretra.
Beberapa faktor etiologi dimana kateter dapat menyebabkan striktur uretra telah didiskusikan. Beberapa tahun terakhir banyak perhatian bahan kateter, terutama lateks, dan perannya dalam pembentukan striktur. Kateter uretra terbuat dari berbagai bahan dikombinasikan dengan bahan kimia yang berbeda. Tampaknya seolah-olah zat kimia dapat larut dari bahan kateter sehingga menyebabkan reaksi inflamasi. Menggunakan teknik kultur sel dan model hewan yang diimplantasi dari bahan kateter ke dalam uretra. Studi tersebut menilai sitotoksisitas secara in vitro (IC50) dan reaksi inflamasi in vivo dari bahan kateter yang berbeda. Studi ini menegaskan bahwa terutama bahan lateks tidak memiliki efek sitotoksik dan tidak menyebabkan peradangan yang cukup di mukosa uretra. Dengan melapisi kateter dengan perak, sitotoksisitas bisa dikurangi secara signifikan dibandingkan dengan lateks murni dengan kateter lateks yang dilapisi hidrogel. Beberapa studi telah menunjukkan efek sitotoksik dari bahan kateter, menunjukkan bahwa efek ini mungkin penting dalam peradangan uretra. Namun, mekanisme yang tepat di balik fenomena ini tidak diketahui.16 Dalam upaya untuk menjelaskan reaksi inflamasi dalam uretra sekunder ke kateter, penelitian selanjutnya mengarah pada pengaruh sistem saraf pada peradangan uretra. Hasilnya menunjukkan bahwa suatu bagian penting dalam peradangan yang disebabkan kateter dimainkan oleh reaksi neurogenik.17
Kateter yang menjadi keras atau berkerak dan infeksi adalah kerugian pada pemasangan kateter jangka panjang. Dalam sebuah penelitian, 77 pasien laki-laki dilakukan pemasangan kateter secara acak dengan menggunakan 1 dari 3 jenis kateter: 22 kateter silikon lateks, 28 kateter lateks dilapisisi hidrogel, dan 27 kateter silikon penuh. Durasi pemasangan kateter rata-rata adalah 2,2 hari. Reaksi inflamasi uretra dinilai dari spesimen usap sitologi uretra. Kerak kateter dipelajari dengan menggunakan analisis scanning elektron mikroskopis (SEM) . Kateter silikon penuh menginduksi peradangan derajat paling ringan di uretra, persentase rata-rata sel-sel inflamasi dalam apusan adalah 20%. Pada kelompok yang memakai kateter lateks nilai hapusannya adalah 36%. Baik usia pasien maupun durasi kateterisasi memiliki efek pada reaksi inflamasi, yang lebih ditandai pada pasien dengan kelainan hemodinamik. Kateter yang dilapisi hidrogel efektif mencegah kerak, sedangkan kateter lateks yang dilapisi silikon kurang efektif mencegah timbulnya kerak pada permukaan kateter. Reaksi inflamasi bervariasi pada semua pasien.18
Infeksi pada striktur uretra. Kateter terkait infeksi saluran kemih tetap menjadi salah satu jenis infeksi yang paling umum yang didapat di rumah sakit. Kemajuan lebih lanjut dalam pencegahan memerlukan pemahaman yang lebih baik dari patogenesis. Bakteri dapat masuk ke kandung kemih melalui kontaminasi ujung kateter pada saat pemasangan dengan flora dari uretra distal atau dari bakteri naik dari luar ke bagian dalam kateter. Urin sisa pada kandung kemih pasien yang terpasang kateter meningkatkan risiko bakteriuria. Selama proses infeksi, bakteri perlu lebih dahulu menempel dengan sel-sel epitel saluran kemih dan atau permukaan dari kateter. Mereka kemudian akan berkembang menjadi biofilm pada permukaan kateter dan tahan terhadap sistem kekebalan tubuh dan antibiotik. Kateter sendiri dapat menyebabkan kerusakan fisik langsung ke epitel kandung kemih, kateter mungkin beracun dan juga menyebabkan peradangan. Bakteri juga dapat merusak epitel dan menyebabkan peradangan dan kombinasi dari keduanya mungkin sinergis dalam timbulnya gejala pada pasien.20 Pada saat peradangan tersebut sembuh dengan terbentuknya jaringan fibrosa, jika mengurangi luas lumen uretra, akan terjadilah striktur uretra.
Terbentuknya biofilm pada pemasangan kateter juga menjadi pemicu infeksi pada uretra. Di saluran kemih, dikenal biofilm terkait infeksi termasuk prostatitis, sistitis kronis, urolitiasis struvite, dan kateter terkait infeksi. Biofilm melindungi organisme penyebab dari sistem pertahanan tubuh dan terapi antimikroba. Pembentukan biofilm secara tradisional telah dianggap hasil dari adhesi dan pembentukan kapsul oleh mikroorganisme.21 Biofilm ini akan membuat lingkungan yang baik untuk bakteri melakukan invasi dan proliferasi di lapisan epitel uretra.
Pencegahan Striktur Uretra pada Pemasangan Kateter Uretra
Melihat beberapa faktor yang telah dijelaskan diatas, terdapat solusi untuk mencegah terjadinya striktur uretra atau paling tidak menurunkan angka morbiditasnya, terutama akibat pemasangan kateter uretra. Salah satunya yang paling mudah adalah melakukan program pendidikan kepada tenaga medis. Sebuah studi yang mencoba melakukan intervensi kepada kelompok sampel guna mencegah terjadinya striktur uretra. Studi ini dilakukan selama 13 bulan. Pada bualan ke-1 sampai ke-6 injuri yang diakibatkan oleh kateter dicatat dan dianalisis. Pada bulan ke-7, dilakukan program pendidikan bagi tenaga medis mengenai anatomi dasar urologi, teknik pemasangan kateter uretra, dan kateter yang aman. Bulan ke-8 sampai ke-13 dilihat insiden injuri terkait kateter. Data sebelum intervensi dan sesudah kemudian dibandingkan. Didapatkan hasil bahwa sebelum intervensi injuri terjadi dengan insiden 3,2/1000 pasien dengan 1 pasien yang mengalami striktur uretra yang berulang. Setelah dilakukan intervensi didapatkan data bahwa inseden terjadinya injuri berkurang menjadi 0,7/1000 pasien (p=0,006) dan tidak didapatkan striktur uretra. Ini menunjukkan injuri iatrogenik pada pemasangan kateter dapat dicegah sehingga angka morbiditas pasien di rumah sakit turun. 22
Infeksi sebagai salah satu pencetus terjadinya striktur juga dapat dicegah. Pencegahan dapat diawali dengan sebuah sistem dimana tenaga medis yang melakukan kateterisasi diingatkan bahwa kateter masih terpasang dan bila tidak diperlukan dapat dilepas. Selain itu tenaga medis diingatkan untuk mengganti kateter yang telah terpasang pada interval tertentu dan bila tenaga medis itu bukan dokter dapat menggantinya tanpa persetujuan dokter. Pada sebuah studi metanalisa mendapatkan hasil dengan dilakukan intervensi angka kejadian infeksi saluran kencing terkait kateter berkurang sebesar 52% (P=0,001). Secara keseluruhan durasi pemasangan kateter berkurang 37%, 2,61 hari lebih sedikit pada pasien dengan intervensi. Sedangkan pada studi dengan intervensi penggantian kateter tidak ditemukan perbedaan sebelum dan sesudah intervensi. 23 Bahan kateter juga dijadikan pertimbangan. Kateter yang dilapisi silver mengurangi angka kejadian infeksi terkait kateter.25 Dengan berkurangnya durasi kateterisasi dan angka kejadian infeksi saluran kemih terkait kateter maka kemungkinan pasien menjadi striktur uretra juga berkurang.
Pada guideline26 eropa dan asia menyebukan langkah-langkah untuk mencegah infeksi terkait kateter. Langkah-langkah tersebut adalah (1) sistem kateter harus tetap tertutup, (2) durasi pemasangan kateter haruslah seminimal mungkin, (3) antiseptik atau antibiotik topical pada kateter, uretra, atau meatus tidak direkomendasikan, (4) walaupun keuntungan profilaksis antibiotik dan antiseptik telah terbukti, tidak direkomendasikan, (5) pelepasan kateter sebelum tengah malam setelah prosedur operasi non-urologi mungkin bermakna, (6) pada pemasangan jangka panjang sebaiknya kateter diganti secara teratur, walaupun belum ada bukti ilmiah interval penggantian kateter, dan (7) terapi antibiotik kronis tidak disarankan.
Tidak ada konsensus mengenai waktu kapan penggantian kateter rutin harus dilakukan. Hal ini dapat dilihat pada instruksi pabrik. Periode yang lebih pendek mungkin diperlukan jika ada kerusakan atau kebocoran kateter. Secara umum, pemakaian jangka panjang kateter harus diganti sebelum terjadi penyumbatan. Waktu untuk melakukan penggantian berbeda dari satu pasien ke pasien lain.
Berbagai macam tindakan medis dapat menyebabkan striktur uretra, salah satunya adalah internal urethrotomy. Striktur dapat dicegah dengan melakukan kateterisasi sendiri secara periodik. Pasien diminta melakukan kateterisasi sendiri secara berkala setiap hari atau tiap seminggu sekali. Studi menyebutkan, dengan melakukan ini secara signifikan (P<0,01) striktur uretra berulang lebih sedikit pada tahun pertama post-operasi. Tidak terdapat komplikasi yang tercatat pada studi ini.24 Mitomycin C disebut dapat mencegah striktur uretra pula. Mitomycin C memiliki sifat antifibroblast dan anticollagen dan dalam laporan pada hewan disebutkan mampu meningkatkan tingkat keberhasilan trabeculectomy dan miringotomi. Dengan menyuntikkan mitomycin C pada submukosa uretra pada saat internal urethrotomy didapatkan penurunan striktur uretra berulang (p=0,006).29 Penggunaan alat seperti sumpit yang terbuat dari baja telah dilaporkan di Cina. Metode ini merupakan metode dimana pasien melakukan dilatasi uretra sendiri. Pemakaian sumpit ini dilakukan setelah dilakukan urethrotomy dengan ukuran 18 French. Seberapa dalam penggunaan sumpit ini ditentukan oleh lokasi striktur. Tidak ada striktur uretra berulang yang dilaporkan pada laporan ini.29
Beberapa tindakan dapat dilakukan untuk mencegah trauma uretra iatrogenik. Rekomendasi yang diberikan eropa adalah mencegah kateterisasi yang beresiko trauma, durasi pemasangan kateter dilakukan seminimal mungkin, dan pada saat melakukan operasi abdomen atau pelvis harus dilakukan dengan kateter uretra terpasang sebagai struktur protektif.27
Simpulan
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat jaringan parut. Striktur uretra merujuk pada penyakit uretra anterior, atau proses yang melibatkan jaringan parut pada jaringan korpus spongiosum (spongiofibrosis). Striktur diawali dengan trauma pada lumen uretra yang diikuti proses penyembuhan dan kontaksi bekas luka tersebut mengurangi ukuran lumen uretra.
Kateterisasi uretra merupakan tindakan invasif yang wajib dikuasai dokter umum maupun tenaga medis yang lain. Pemasangan kateter haruslah dilakukan dengan langkah-langkah yang benar. Pemasangan kateter uretra adalah tindakan pertama kali yang dilakukan pada pasien dengan retensi urin akut. Sebagai tindakan invasif, pemasangan kateter ini tentu memiliki resiko. Salah satunya adalah terjadinya striktur uretra.
Faktor-faktor yang menghubungkan pemasangan kateter uretra dengan striktur uretra adalah proses inflamasi dan infeksi. Patogenesis terperinci mengenai infeksi menyebabkan striktur uretra belum jelas. Namun kebaradaan infeksi pada lumen uretra tentu akan berlanjut pada proses penyembuhan, yaitu inflamasi. Jaringan fibrosa yang dihasilkan pada proses inflamasi bertanggung jawab terhadap terjadinya striktur uretra.
Striktur uretra yang disebabkan tindakan iatrogenik dapat dicegah, khususnya pada pemasangan kateter. Guideline yang ada telah memberikan arahan bagaimana mencegah striktur uretra dengan pendekatan dua faktor diatas. Pencegahan dapat berupa dari yang paling mudah adalah mengingatkan tenaga medis tentang pemasangan kateter sampai penggunaan kateter yang terbuat dari bahan tertentu. Institusi dapat membuat peraturan dimana akan mengingatkan tenaga medis bahwa kateter masih terpasang dan bila tidak diperlukan dapat dilepas. Selain itu tenaga medis diingatkan untuk mengganti kateter yang telah terpasang pada interval tertentu dan bila tenaga medis itu bukan dokter dapat menggantinya tanpa persetujuan dokter. Pasien dengan resiko tinggi terjadi infeksi sebaiknya menggunakan kateter yang dilapisi silver.
DAFTAR PUSTAKA
1. Thomsen,Todd W. , and Setnik, Gary S. Male Urethral Catheterization. N Engl J Med 2006;354:e22.
2. Gousse, Angelo E.,et al. Urethral Strictures in Males. Avaible from: http://emedicine.medscape.com/article/450903-overview. (Akses: 29 Desember 2011)
3. Wein. Urethral Stricture Disease. In. Campbell-Walsh Urology, 9th ed. Wein, Alan J. Et al (editor) Saunders Elsevier, 2007.
4. McAninch, Jack W. Disorders of the Penis & Male Urethra. In: Smith’s General Urology, 17thed. Tanagho, Emil A., and McAninch, Jack W. (editor) McGraw-Hill, 2008.
5. Sugandi, Suwandi. Pola Penyakit Striktur Uretra Dan Penanganannya Di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. MKB 2003;Vol.35 No.2
6. Mathur, Rajkumar, et al. Comprehensive Analysis of Etiology on the Prognosis of Urethral Strictures. International Braz J Urol. 2011;Vol 37 (3): 362-370
7. Shlamovitz, Gil Z, et al. Urethral Catheterization in Men. Avaible from: http://emedicine.medscape.com/article/80716-overview#showall. (Akses: 29 Desember 2011)
8. Lumen, Nicolaas, et al. Etiology of Urethral Stricture Disease in the 21st Century. The Journal of Urology. 2009; Vol 182, Issue 3 , Pages 983-7.
9. Milroy, Euan, and Allen, Alison. Long-Term Results of Urolume Urethral Stent for Recurrent Urethral Strictures. The Journal of Urology.1996;Vol 155, Issue 3 , Pages 904-8.
10. Steenkamp,J.W., Heyns, C.F., and Kock, M.L.S. de.I nternal Urethrotomy Versus Dilation as Treatment for Male Urethral Strictures: A Prospective, Randomized Comparison. The Journal of Urology.1997;Volume 157, Issue 1, Pages 98-101.
11. Riyadi, Muskhab E. Hubungan antara lama waktu terpasang kateter dengan tingkat kecemasan pada klien yang terpasang kateter uretra di bangsal rawat inap dewasa kelas III RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta. 2006.
12. Shlamovitz, Gil Z, et al. Urethral Catheterization in Men. Avaible from: http://emedicine.medscape.com/article/80716-overview#showall. (Akses: 29 Desember 2011)
13. Gartner, Leslie P., and Hiatt, James L. Color Textbook of Histology, 3rd eds. Saunders Elsevier. 2007.
14. Mundy, Anthony R. and Andrich, Daniela E. Urethral strictures. BJU International. 2010;107,6-26.
15. Wilksch J, et al. The role of catheter surface morphology and extractable cytotoxic material in tissue reactions to urethral catheters. Br J Urol. 1983 Feb;55(1):48-52.
16. Liedberg H. Catheter induced urethral inflammatory reaction and urinary tract infection. An experimental and clinical study. Scand J Urol Nephrol Suppl. 1989;124:1-43.
17. Nordling L, Liedberg H, Ekman P., et al. Influence of the nervous system on experimentally induced urethral inflammation. Neurosci Lett. 1990 Jul 31;115(2-3):183-8.
18. Talja M, Korpela A, Järvi K. Comparison of urethral reaction to full silicone, hydrogen-coated and siliconised latex catheters. Br J Urol. 1990 Dec;66(6):652-7.
19. Tijani KH, Adesanya AA, Ogo CN. The new pattern of urethral stricture disease in Lagos, Nigeria. Niger Postgrad Med J. 2009 Jun;16(2):162-5.
20. Barford, JMT and Coates, ARM. The pathogenesis of catheter-associated urinary tract infection. Journal of Infection Prevention March 2009;vol. 10 no. 2:50-56.
21. Morris NS, Stickler DJ, McLean RJ. The development of bacterial biofilms on indwelling urethral catheters. World J Urol. 1999 Dec;17(6):345-50.
22. Kashefi C, Messer K, Barden R, et al. Incidence and prevention of iatrogenic urethral injuries. J Urol. 2008 Jun;179(6):2254-7.
23. Meddings, Jennifer, Rogers, Mary A. M. , Macy,Michelle, et all. Systematic Review and Meta-Analysis: Reminder Systems to Reduce Catheter-Associated Urinary Tract Infections and Urinary Catheter Use in Hospitalized Patients. Clin Infect Dis. (2010);51 (5): 550-560.
24. Kjaergaard B, Walter S, Bartholin J, et al. Prevention of urethral stricture recurrence using clean intermittent self-catheterization. Br J Urol. 1994 Jun;73(6):692-5.
25. Schumm K. and Lam TB. Types of urethral catheters for management of short-term voiding problems in hospitalized adults: a short version Cochrane review. Neurourol Urodyn. 2008;27(8):738-46.
26. Tenke, Peter, Kovacs, Johansen, Bela Truls E. Bjerklund, et al. European and Asian guidelines on management and prevention of catheter-associated urinary tract infections. International Journal of Antimicrobial Agents 31S;2008:S68–S78.
27. Martı´nez-Pin˜eiro, Luis, Djakovic, Nenad, Plas, Eugen, et al. EAU Guidelines on Urethral Trauma. European Urology; 2010.5 7:791–803.
28. Mazdak, Hamid, Meshki, Iraj, and Ghassami, Fatemeh. Effect of Mitomycin C on Anterior Urethral Stricture Recurrence after Internal Urethrotomy. European Urology ;2007.51:1089–92.
29. Lin, Yu-Hung, Huang, William Ji-Sien , Chen, Kuang-Kuo. Using Stainless Steel Chopstick for Self-performing Urethral Sounding in Preventing Recurrence of Anterior Urethral Stricture. J Chin Med Assoc .2006;69(4):189–192.
30. M. Beynon, T. de Laat, J. Greenwood. Urethral Catheterization Section 1: Male Catheterization. European Association of Urology Nurses. 2005
31. Purnomo BB., Seto S. Striktur Urethra. Dalam: Dasar-Dasar Urologi. Edisi Kedua. Penerbit fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Malang. 2003; 153 – 6.


Sumber: disini