Pendahuluan
Bali merupakan pulau yang menjadi tujuan wisata.
Wisatawan yang datang ke Bali tidak hanya berasal dari daerah Indonesia
tapi juga berasal luar negeri. Kebanyakan dari wisatawan asing tersebut
menjadikan Bali sebagai tempat berlibur. Sebagai sebuah pulau yang
didatangi wisatawan asing jutaan orang tiap tahunnya, diperlukan tenaga
kesehatan yang profesional. Salah satu kasus yang mungkin ditemui oleh
para dokter yang bertugas di Bali adalah retensi urin akut. Retensi akut
ini dapat disebabkan oleh banyak hal. Penyebabnya dapat berupa benign prostatik hiperplasia, batu uretra, striktur uretra, dan lain-lain. Pemasangan kateter uretra menjadi penatalaksanaan pertama yang bisa dilakukan.
Retensi urin akut adalah ketidakmampuan secara
mendadak untuk urinasi (miksi) dan biasanya merupakan kondisi
simptomatik dari prekursor kondisi lain yang memerlukan penanganan medis
yang segera. Kateterisasi uretra adalah prosedur medis rutin yang
memfasilitasi drainase langsung dari kandung kemih.1 Pemasangan kateter uretra menjadi terapi akut pada pasien yang mengalami retensi urin akut.
Salah satu penyebab striktur uretra adalah
pemasangan kateter dalam waktu yang cukup lama. Pola penyakit striktur
uretra yang ditemukan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung menyebutkan
sebagian besar pasien (82%) masuk dengan retensi urin. Penyebab utama
terjadinya striktur adalah manipulasi uretra (44%) dan trauma (33%).5 Salah satu manipulasi uretra adalah pemasangan kateter Folley.
Studi yang dilakukan di India menyebutkan
penyebab dari striktur uretra meliputi trauma pelvis (54%),
post-kateterisasi (21,1%), infeksi (15,2%), dan post-instrument (5,6%).
Study ini menunjukkan kesimpulan bahwa etiologi diatas menentukan
prognosis dari penatalaksanaan striktur uretra.6 Studi yang dilakukan oleh Lumen,et all juga mendapatkan hasil7 sebanyak 45,5% striktur uretra disebabkan iatrogenik yang didalamnya termasuk reseksi transuretral, kateterisasi uretra, cystoscopy, prostatectomy, brachytherapy, dan pembedahan hypospadia.8
Penelitian ini menjadi penting mengingat prosedur pemasangan kateter
uretra merupakan prosedur rutin pada penanganan kasus retensi urin akut
seperti benign prostat hiperplasia, adanya bekuan darah,
urethritis, kronik obstruksi yang menyebabkan hidronefrosis, dan
dekompresi kantung kemih akibat permasalahan saraf.17
Keteterisasi urin merupakan salah satu tindakan
yang membantu eliminasi urin maupun ketidakmampuan melakukan urinasi.
Prosedur pemasangan kateter uretra merupakan tindakan invasif. Pasien
akan dipasangkan sejenis alat yang disebut kateter Dower pada muara
uretra. Dalam melakukan prosedur ini diperlukan keprofesionalan. Banyak
pasien merasa cemas, takut akan rasa nyeri, dan tidak nyaman pada saat
dilakukan kataterisasi uretra. Hasil studi11 dari
Mushhab,2006 menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara lama waktu
terpasang kateter dengan tingkat kecemasan pada pasien yang terpasang
kateter uretra.
Melihat data diatas timbul ide untuk mencegah
terjadinya striktur uretra pada pemasangan kateter uretra. Dengan
berkurangnya angka kejadian diharapkan tindakan pembedahan yang
dilakukan pada pasien tidaklah terlalu banyak. Selain itu lama pasien
menjalani rawat inap juga akan berkurang sehingga angka morbiditas akan
berkurang. Hal ini mengingat penatalaksanaan yang paling banyak
dilakukan di pusat rujukan urologi adalah pembedahan guna merekontruksi
saluran uretra yang mengalami striktur. Selain itu terdapat resiko
terjadi striktur uretra yang berulang setelah menjalani prosedur
pembedahan.
Tinjauan Pustaka
Striktur Uretra
Anatomi dan histologi uretra pria. Panjang
uretra pria adalah 15-20cm. Uretra dibagi menjadi segmen anterior dan
posterior. Uretra anterior (dari distal ke proksimal) meliputi meatus,
fosa navicularis, uretra penis atau pendulous, dan uretra bulbar. Uretra
posterior (dari distal ke proksimal) termasuk uretra membranosa dan
uretra prostatik.2
Uretra terletak dalam korpus spongiosum, dimulai
pada tingkat uretra bulbar dan meluas sepanjang uretra penis. Uretra
bulbar dimulai dari akar penis dan berakhir pada diafragma urogenital.
Uretra penis memiliki posisi yang lebih sentral pada korpus spongiosum,
berbeda dengan uretra bulat yang lebih di dorsal.2
Uretra membranosa melibatkan segmen memanjang
dari diafragma urogenital sampai verumontanum. Uretra prostatik meluas
kearah proksimal dari verumontanum ke leher kandung kemih. Dari
eksternal ke internal, soft-tissue jaringan penis adalah kulit,
superficial (dartos) fasia, deep (Buck) fasia, dan tunika albuginea yang
mengelilingi korpus kavernosum dan spongiosum.2
Pendarahan superfisial ke penis berasal dari
pembuluh pudenda eksternal, yang bersumber dari pembuluh femoral.
Pembuluh pudenda eksternal bercabang menjadi pembuluh darah superfisial
penis dorsal yang berjalan dorsolateral dan ventrolateral sepanjang
batang penis, menyediakan pasokan pembuluh darah untuk fasia dartos dan
kulit. Struktur dalam penis menerima suplai arteri dari arteri penis
komunis, yang berasal dari arteri pudenda interna. Skrotum menerima
suplai darah melalui cabang-cabang dari arteri pudenda baik eksternal
dan internal.2
Gambar 2.1. Uretra Pria3
Sedangkan dari segi histologi13,
uretra pria dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu uretra prostatik,
uretra membranous, dan uretra spongi (penile uretra). Uretra prostatik,
memiliki panjang 3-4cm, terletak disekitar kelenjar prostat. Daerah ini
dilapisi oleh epitelium transisional dan terdapat banyak lubang yang
berasal dari prostat dan sepasang saluran ejakulasi. Uretra membranous
hanya memiliki panjang 1-2cm. Daerah ini dilapisi epitel kolumnar
berlapis yang diselingi dengan bercak epitel kolumnar pseudostratified.
Uretra spongi (penile uretra) merupakan bagian yang terpanjang dengan
panjang sekitar 15 cm. Daerah ini memanjang sepanjang penis dan berakhir
pada ujung glan penis. Uretra spongi dilapisi oleh epitel kolumnar
bertingkat diselingi dengan bercak kolumnar pseudostratified dan epitel
skuamosa berlapis nonkeratinized. Bagian terminal yang diperbesar dari
uretra pada glans penis (fosa navicular) dibatasi oleh epitel skuamosa
berlapis nonkeratinized.
2.1.2 Etiologi dan patogenesis
Penyebab paling umum dari striktur uretra saat
ini adalah traumatik atau iatrogenik. Penyebab yang lebih jarang ditemui
adalah peradangan atau infeksi, keganasan, dan kongenital. Striktur
akibat infeksi biasanya merupakan gejala sekunder dari urethritis
gonococcal, yang masih umum di beberapa populasi berisiko tinggi.2
Penyebab yang paling penting adalah idiopati,
reseksi transurethral, kateterisasi uretra, fraktur panggul dan operasi
hipospadia. Penyebab iatrogenik keseluruhan (reseksi transurethral,
kateterisasi uretra, sistoskopi, prostatektomi, operasi brachytherapy
dan hipospadia) adalah 45,5% dari kasus striktur. Pada pasien yang lebih
muda dari 45 tahun penyebab utama adalah idiopati, operasi hipospadia
dan fraktur panggul. Pada pasien yang lebih tua dari 45 tahun penyebab
utama adalah reseksi transurethral dan idiopathy. Penyebab utama
penyakit penyempitan multifokal/panurethral adalah kateterisasi uretra
anterior, sedangkan fraktur panggul adalah penyebab utama dari striktur
uretra posterior.8
Segala proses yang melukai lapisan epitelium
uretra atau di bagian korpus spongiosum pada proses penyembuhannnya akan
menghasilkan jaringan parut tau scar. Hal ini akan menyebabkan striktur uretra anterior. Sebagian besar striktur uretra disebabkan oleh trauma, biasanya stradle
trauma. Trauma ini biasanya tidak dirasakan sampai pasien mengeluh
kesulitan BAK yang merupakan tanda dari obstruksi oleh karena striktur
atau scar. Trauma iatrogenik juga dapat menyebabkan striktur
uretra. Namun dengan berkembangnya endoskopi yang kecil dan pembatasan
indikasi sistoskopi pada pria membuat kejadian striktur uretra lebih
sedikit. Jejas pada urethra posterior yang berakibat terjadinya striktur
berhubungan dengan fibrosis periurethral yang luas.3
Striktur akibat radang berhubungan dengan
gonorrhea adalah penyebab paling sering pada masa lalu dan sekarang
sangat jarang ditemui. Dengan penanganan antibiotik yang tepat dan
efektif, urethriris gonococcal jarang menjadi striktur uretra. Sampai
hari ini belum jelas hubungan antara uretritis nonspesifik dengan
striktur uretra anterior.3
Karakteristik dari striktur adalah perubahan
epitel uretra oleh jaringan fibrosa padat karena tromboflebitis lokal di
korpus spongiosum dalam. Epitel itu sendiri biasanya utuh, meskipun
yang abnormal. Patogenesis striktur belum dipelajari secara luas dan
studi yang ada menyebutkan infeksi sebagai penyebab, meskipun telah ada
studi pada model binatang yang mempelajari trauma elektro-koagulasi pada
uretra kelinci sebagai model cedera iatrogenik. Lokasi dari kelenjar
uretra berhubungan dengan tempat kejadian infeksi yang berhubungan
dengan striktur yang mengimplikasikannya sebagai penyebab. Namun,
satu-satunya studi tentang patogenesis penyakit striktur menunjukkan
bahwa perubahan yang utama adalah metaplasia epitel uretra dari normal
jenisnya pseudo-kolumnar bertingkat pada epitel skuamosa berlapis. Ini
adalah epitel yang rapuh, dan ini cenderung untuk robek saat terjadi
distensi selama berkemih. Robekan tersebut akan membuat lubang di epitel
menyebabkan ekstravasasi urine saat berkemih yang memicu untuk
terbentuknya fibrosis subepitel. Pada penampakan mikroskopis, tempat
terjadinya robekan terbentuk fibrosis dan menyatu selama periode tahun
untuk membentuk plak makroskopik, yang kemudian dapat menyempitkan
uretra jika mereka menyatu di sekitar lingkar uretra untuk membentuk
sebuah cincin yang lengkap. Dalam model pembentukan striktur, infeksi
bakteri dapat menginduksi metaplasia skuamosa, dan faktor lainnya dapat
berupa bahan kimia, fisik atau biologis.14
Diagram 1. Patogenesis terjadinya striktur14
Gambar 2.2. Anatomi striktur uretra anterior meliputi,
dalam banyak kasus, yang mendasari spongiofibrosis. A, Sebuah lipat,
mukosa. B, Iris penyempitan. C, Full-ketebalan keterlibatan dengan
fibrosis minimal dalam jaringan spons. D, Full-ketebalan
spongiofibrosis. E, Peradangan dan fibrosis yang melibatkan jaringan
luar korpus spongiosum. F, striktur kompleks rumit dengan fistula3
Epidemiologi. Kejadian striktur uretra
telah didokumentasikan sejak 600 tahun sebelum masehi. Menurut pendapat
para ahli, pada abad ke-19 sekitar 15-20% pria dewasapernah mengalami
striktur. Pada abad ke-21 ini diperkirakan di Inggris 16.000 pria
dirawat di rumah sakit karena striktur uretra dan lebih dari 12.000 dari
mereka memerlukan operasi dengan biaya 10 juta euro. Estimasi
prevalensi di inggris sendiri adalah 10/100.000 pada masa dewasa awal
dan meningkat 20/100.000 pada umur 55 sedangkan pada umur 65 tahun
menjadi 40/100.000. Angka ini meningkat terus untuk pasien tua sampai
100/100.000. Hal yang sama juga dilaporkan di Amerika Serikat.14
Sebuah studi19 di Nigeria melaporkan
pola striktur uretra. Dalam studi ini menyebutkan delapan puluh empat
pasien (83 laki-laki dan 1 perempuan) dengan striktur uretra dilihat
dalam sebuah periode dengan usia rata-rata 43,1 tahun. Trauma
bertanggung jawab untuk 60 (72,3%) kasus, dengan kecelakaan lalu lintas
sebanyak 29 orang (34,9%), dengan trauma iatrogenik sebesar 17 (20,5%)
dari semua kasus striktur uretra. Pemasangan kateter uretra bertanggung
jawab pada 13 pasien (76,5%) dari kasus iatrogenik. Uretritis purulen
bertanggung jawab untuk 22 (26,5%) kasus. Lima puluh (60,2%) kasus
terletak di uretra anterior sedangkan dua puluh tiga (39,8%) berada di
posterior. Lima puluh tujuh pasien dilakukan urethroplasty dengan
kekambuhan 14% dan 8 pasien mengalami dilatasi uretra dengan kekambuhan
50% pada 1 tahun.
Diagnosis. Striktur uretra merujuk pada
penyakit uretra anterior, atau proses yang melibatkan jaringan parut
pada jaringan korpus spongiosum (spongiofibrosis). Jaringan korpus
spongiosum dilapisi oleh epitel uretra, dan dalam beberapa kasus,
jaringan parut terbentuk memanjang melalui jaringan korpus spongiosum
dan ke dalam jaringan yang berdekatan. Kontraksi bekas luka ini
mengurangi ukuran lumen uretra. Sebagai contoh, jika sebuah uretra yang
normal ukuran 30 French, diameternya adalah 10 mm, maka luas daerah
lumen adalah sekitar 78 mm2. Jika jaringan parut telah mengakibatkan ukuran uretra menjadi 15 French, lumen hanya 55 mm2,
maka berkurang 29%. Oleh karena itu jelas bahwa kontraksi luka yang
disebabkan oleh striktur uretra anterior dapat menjadi tanpa gejala
tetapi sebagai lumen telah jauh berkurang luasnya. Hal ini dapat
dikaitkan dengan gejala gangguan berkemih.3
Sebaliknya, “striktur” uretra posterior tidak
termasuk dalam definisi umum dari striktur uretra. Striktur uretra
posterior adalah proses obliteratif di uretra posterior yang
mengakibatkan fibrosis dan umumnya gangguan di wilayah ini yang
disebabkan oleh baik trauma ataupun prostatektomi radikal. Meskipun
gangguan bisa berlangsung lama pada beberapa kasus, proses sebenarnya
yang melibatkan jaringan uretra biasanya terbatas. Dalam konsensus
konferensi Organisasi Kesehatan Dunia, yang dimaksud striktur uretra
adalah terbatas pada uretra anterior.3
Penurunan aliran urin merupakan keluhan yang
paling umum. Penyemprotan atau double stream sering dikeluhkan oleh
pasien, seperti menetesnya urin setelah BAK. Keluarnya cairan uretra
yang kronik, pada beberapa kasus merupakan keluhan utama, hal ini
mungkin saja berkaitkan dengan prostatitis kronis. Sistitis akut atau
gejala infeksi terlihat pada beberapa kasus. Retensi urin akut jarang
terjadi kecuali terdapat infeksi atau obstruksi prostat. Keluhan awal
biasanya berubahnya frekuensi kencing dan disuria ringan.2
Pasien yang mengalami retensi urin biasanya akan
dilakukan pemasangan kateter uretra. Namun bila pemasangan kateter tidak
berhasil masuk ke kantung kemih, kemungkinan terdapat obstruksi. Sifat
dari obstruksi ini dapat ditentukan menggunakan urethtrography retrograde dinamis.
Evaluasi radiografis pada uretra dengan studi kontras yang terbaik dilakukan dengan urethrogram retrograde atau cystourethrogram antegrade jika pasien sudah terpasang kateter suprapubik. Urethrograms retrograde dan cystourethrograms antegrade
biasanya diperoleh melalui departemen radiologi, meskipun ahli urologi
dapat melakukan mereka secara langsung. Pemeriksaan ini dapat digunakan
untuk mendiagnosa dan menentukan sejauh mana striktur uretra. Keakurat
mendokumentasikan luas dan lokasi striktur adalah penting sehingga dapat
memberikan pilihan perawatan yang paling efektif yang dapat ditawarkan
kepada pasien.2
Gambar 2.3. Retrograde urethrogram menunjukkan striktur uretra bulbar.2
Gambar 2.4. Urethrogram retrograde menunjukkan pan-penyakit striktur uretra.2
Untuk menentukan penatalaksanaan yang tepat,
sangat penting untuk menentukan lokasi, panjang, dalam, dan ketebalan
dari striktur (spongiofibrosis). Panjang dan lokasi dari striktur dapat
ditentukan dengan radiography, urethroscopy, dan ultrasonography. Dalam
dan tebal jaringan parut dapat diperkirakan dari pemeriksaan fisik,
adanya gambaran kontras yang menempel di uretra saat pemeriksaan
radiologi, dan kesan yang didapat pada pemeriksaan uretrhoscopy.
Dalam dan tebal nya striktur ini sangat sulit ditentukan secara
objectif. Ultrasonography tidak dapat memberikan gambaran panjangnya
bagian yang mengalami fibrosis. Ultrasound dapat memberikan gambaran
secara cermat berapa panjang lumen yang mengalami penyempitan.
Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur urethra dibagi menjadi 3 tingkatan31, yaitu:
1. Ringan, jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen urethra.
2. Sedang, jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen urethra.
3. Berat, jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen urethra.
4. Pada penyempitan derajat berat, kadang kala teraba jaringan keras di korpus spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.
Gambar 2.5. Derajat penyempitan lumen31
Penatalaksanaan. Penanganan striktur
uretra telah berkembang pesat. Sebelumnya solusi yang diberikan pada
pasien adalah pembedahan rekontruksi. Baik pasien dan dokter harus
memiliki pemahaman yang baik tentang tujuan pengobatan sebelum memilih
pengobatan. Untuk tujuan itu, pilihan pengobatan harus didiskusikan
dengan pasien.3 Beberapa pasien mungkin lebih suka
penatalaksanaan striktur dengan melakukan dilatasi periodik di kantor,
di rumah, atau di rumah sakit daripada menjalani operasi pembedahan.
Orang lain mungkin menginginkan sembuh sebagai tujuan dan memilih
penatalaksanaan bedah. Tidak ada terapi medikasi yang digunakan untuk
merawat striktur uretra.3
Untuk terapi bedah tertutup yang dapat ditawarkan
adalah dilatasi uretra, internal urethrotomy, dan pemasangan stent
uretra permanen. Pada dilatasi uretra, beberapa pasien dapat memilih
untuk mengelola penyakit mereka dengan dilatasi periodik. Tujuannya
adalah untuk meregangkan bekas luka jaringan parut tanpa menghasilkan
komplikasi tambahan. Ini mungkin kuratif pada pasien dengan penyempitan
epitel terisolasi (tidak ada keterlibatan korpus spongiosum).2
Urethrotomy internal dilakukan dengan
menggores striktur menggunakan peralatan endoskopi transurethra. Sayatan
memungkinkan untuk melepaskan jaringan parut. Kesuksesan tindakan ini
tergantung pada proses epitelisasi pada striktur yang secara signifikan
mengurangi kaliber lumen uretra. Tindakan harus dilakukan dengan tidak
melukai corpora cavernosa karena ini bisa mengakibatkan disfungsi ereksi.2
Komplikasi dari tindakan ini adalah kekambuhan
dari penyempitan. Penyempitan ini yang merupakan komplikasi yang paling
umum. Selain itu terdapat komplikasi lain yaitu perdarahan, atau
ekstravasasi cairan irigasi ke dalam jaringan perispongial, sehingga
meningkatkan respon fibrosis. Tingkat keberhasilan penyembuhan
dilaporkan sebesar 20% -35%, dengan tidak ada peningkatan tingkat
keberhasilan dengan prosedur urethrotomy internal kedua. Biasanya,
dipasang kateter uretra dan didiamkan selama 3-5 hari untuk mencegah
striktur yang berulang dengan menahan kontraksi luka dan memungkinkan
epitelisasi. Lamanya pemasangan kateter uretra belum terbukti mengurangi
tingkat kegagalan.2 Self-kateterisasi setelah
urethrotomy internal telah digunakan untuk meningkatkan angka kesembuhan
dengan mempertahankan patensi dari lumen uretra. Namun, striktur
biasanya kembali setelah pasien berhenti.10
Stent uretra permanen ditempatkan dengan endoskopi. Stent
dirancang untuk dimasukkan ke dalam dinding uretra dan memberikan lumen
yang paten. Tindakan ini sangat sukses pada pasien dengan striktur yang
pendek di bulbous uretra. Komplikasi terjadi ketika stent ditempatkan uretra bulbous distal, menyebabkan rasa sakit saat duduk atau selama hubungan seksual. Komplikasi lain pemasangan stent
ini adalah migrasi stent. Prosedur ini merupakan kontraindikasi pada
pasien dengan striktur padat dan pada pasien yang sebelumnya melakukan
rekonstruksi substitusi uretra karena memunculkan reaksi hipertrofik.
Tindakan ini biasanya dijadikan solusi alternatif pada pasien yang
secara medis tidak layak untuk menjalani prosedur panjang rekonstruksi
uretra terbuka.2,9
Pilihan terapi yang dapat diberikan pada pasien
adalah rekontruksi terbuka. Tindakan ini akan menginsisi dan
menyambungkan kembali uretra. Sekarang telah ditunjukkan dengan pasti
bahwa teknik yang paling diandalkan pada rekonstruksi uretra anterior
adalah eksisi lengkap daerah fibrosis, dengan reanastomosis utama ujung
normal dari uretra anterior. Hasil terbaik akan didapat ketika dicapai
poin teknis berikut ini diamati: daerah fibrosis benar-benar dipotong,
anastomosis uretra spatulated, membuat anastomosis bulat besar, dan
anastomosis bebas ketegangan.3
Gambar 2.6. Teknik eksisi dan penyambungan pada striktur uretra3
Kateter Uretra (Dower Kateter)
Jenis-jenis kateter uretra. Tersedia berbagai ukuran dan jenis dari kateter uretra. Kateter foley adalah kateter double-lumen dan memiliki ujung yang lurus. Kateter jenis ini paling sering digunakan. Jenis lainnya adalah kateter coudé.
Kateter ini bersifat semirigid, ujungnya melengkung yang dapat
digunakan pada pasien pembesaran prostat. Selain itu juga terdapat
kateter yang memiliki tiga lumen. Kateter ini digunajan untuk
mengirigasi kantung kemih. Kebanyakan kateter memilki balon pada
ujungnya yang dapat diisi air. Hal ini berguna saat mempertahan posisi
kateter di kantung kemih. 2,12
Untuk pria dewasa ukuran kateter yang digunakan adalah 16-18 French. Kateter yang lebih kecil (12-24 French) digunakan pada pasien yang mengalami striktur uretra. Sedangkan yang berukuran lebih besar, 20-24 French,
biasanya digunakan pada pasien dengan pembesaran prostat untuk mencegah
kakunya kateter bila masuk ke prostatic uretra. Kateter yang lebih
besar digunakan pada pasien dengan gross hematuri untuk mencegah obstruksi saluran yang disebabkan bekuan darah dan penyebab retensi urin lainnya.2,12
Gambar 2.7. Jenis Kateter uretra2
Beberapa kateter terbuat dari bahan lateks. Namun
demikian, telah tersedia kateter yang terbuat dari bahan silikon untuk
pasien yang alergi terhadap bahan lateks. Pada pasien yang memiliki
resiko infeksi yang cukup besar telah tersedia kateter yang dibungkus
dengan silver untuk mencegah infeksi.2
Indikasi dan kontraindikasi pemasangan kateter uretra. Kateter
uretra dilakukan dengan tujuan untuk terapi dan diagnosis. Untuk
terapi, kateter digunakan untuk menurunkan tekanan kantung kemih pasien
dengan retensi urin akut maupun kronik yang merupakan akibat dari
obstruksi vesikuler bagian bawah atau kelainan saraf pada kantung kemih.
Kateterisasi dan irigasi dibutuhkan pada pasien dengan gross
hematuri untuk meghilangkan darah dan gumpalannya dari kantung kemih.
Untuk diagnosis, kateter uretra digunakan saat pengambilan sampel urin
untuk dilakukan tes mikrobiologi, pengukuran urin yang keluar pada
situasi kegawatdaruratan atau saat operasi, atau untuk mengukur volume
residu setelah berkemih bila ultrasonography tidak tersedia. 2,12,30
Kateter uretra tidak dapat digunakan pada
penatalaksanaan rutin pada inkonnensia urin. Bila memungkinkan, lebih
baik menggunakan peralatan yang kurang invasive seperti popok,
intemitant kateter, atau kateter penile-sheat. Pada kasus ini lebih baik
melakukan prosedur bedah atau menggunakan obat anti-muscarinic. 2
Kontraindikasi mutlak pada kateterisasi uretra
adalah jejas pada uretra, apakah dicurigai atau terkofirmasi. Injury
atau jejas pada uretra biasanya terjadi pada pasien yang mengalami
trauma yang berhubungan dengan pelvis atau pasien dengan patah tulang
pelvis. Pada pemeriksaan fisik ditemukan darah pada meatus uretra dan gross
hematuri, perineal hematoma, dan prostat yang melayang. Gambaran
prostat yang melayang biasanya dikaburkan dengan adanya hematoma pelvis
yang besar atau dapat juga disebabkan pasien menolak dilakukan
pemeriksaan karena rasa sakit pada area tersebut. Bila hal ini terjadi, urethrography retrograde harus dilakukan sebelum pemasangan kateter.2,12,30
Relative kontraindikasi dari pemasangan kateter
uretra adalah stricture uretra, baru saja dilakukan pembedahan uretra
atau kandung kemih, dan pasien yang tidak kooperatif.2
Teknik pemasangan katetr uretra pada pria. Perlengkapan
yang diperlukan untuk memasang kateter uretra harus lah tersedia di
dekat operator sehingga mudah dijangkau. Perlengkapan tersebut adalah
sarung tangan steril, larutan antiseptik, doek steril, kateter Foley,
jel sebagai lubrikan, pinset dan kapas, air steril untuk mengembangkan
balon, dan selang dan kantong penampung urin. Perlengkapan lainnya juga
adalah lodocaine dan plester untuk mengfiksasi kateter.2,12,30
Siapkan semua perlengkapan dan letakkan di tempat
yang mudah dijangkau. Pastikan balon pada kateter dapat mengembang dan
pastikan katupnya berfungsi normal. Sambungkan kateter dengan selang
yang terhubung dengan kantong urin.2,12,30
Posisikan pasien pada tempat tidur dengan posisi
supinasi. Untuk pasien yang tidak disirkumsisi, tarik preputium
kebelakang. Suntikkan larutan campuran jel dan lidocaine pada meatus
uretra tanpa menggunakan jarum. Hal ini akan membantu menganastesi
mukosa dan untuk meluruskan uretra. Pijat ujung uretra selama beberapa
saat setelah lidocaine disuntikkan agar jeli rata di dalam uretra.2,12,30
Pemasangan kateter harus dalam keadaan steril
sehingga operator harus menggunakan sarung tangan steril. Tutup bagian
pubis dengan doek steril. Pegang penis dengan tangan yang tidak dominan
dengan posisi tegak lurus dengan tubuh pasien. Sekarang tangan tersebut
tidaklah steril sehingga tidak boleh melepaskan penis dan memegang
perlengkapan yang steril. Bersihkan glan penis dengan kapas yang sudah
dilumuri larutan antiseptik dengan arah melingkar.2,12,30
Lubrukasi ujung kateter dengan jeli steril sebelum memasukkannya. Bila menggunakan kateter coudé,
ujung dari kateter menghadap keatas, pada arah jam 12, untuk
memfasilitasi saat melewati lobus median dari kelenjar prostat. Masukkan
kateter dengan gently ke meatus dan secara perlahan masukkan ke
proximal uretra. Bila ditemukan tahanan pada saat memasukkan jangan
dipaksakan. Hal ini dikarenakan bila dipaksakan kemungkinan akan
menyebabkan trauma pada uretra. Bila terdapat tahanan dirasakan setelah
masuk 16-20 cm, kemungkinan ini terjadi pada spincter external.
Instruksikan pada pasien untuk menarik nafas agar lebih rileks sehingga
kateter bisa masuk. Bila kateter sudah masuk ke kantung kemih, maka urin
akan keluar. Masukkan kateter sampai percabangan kateter. Hal ini untuk
mencegah trauma pada uretra saat mengembangkan balon.2,12,30
Gambar 2.8. Masukan kateter pada arah jam 122
Urin yang mengalir pada selang menandakan kateter
telah berada pada posisi yang sesuai. Jika pada selang tidak mengalir,
kemungkinan jeli tadi menghambat aliran urin. Suntikkan kateter dengan
larutan saline untuk membersihkan kateter. Namun hal ini juga dapat
terjadi bila kantung kemih dalam keadaan kosong.2,12,30
Selanjutnya kembangkan balon dengan 10 ml air.
Pada tiap kateter terdapat tanda berapa banyak air yang dibutuhkan untuk
mengembangkan balon. Hanya air yang dapat digunakan. Bila menggunakan
udara terdapat kemungkinan akan bocor dan bila menggunakan saline
kemungkinan akan mengkristal dan menyebabkan tidak berfungsinya katup
atau obstruksi pada lumen yang mempersulit mengempiskan balon. Sangat
penting untuk dipastikan bahwa balon tidak mengembang di uretra.2,12,30
Selanjutnya tarik kateter sampai balon berada
pada posisi yang sesuai, melawan dinding kantung kemih. Kembalikan
preputium ke posisi semula pada pasien yang tidak disirkumsisi untuk
mencegah paraphimosis. Fiksasi kateter pada paha atau dinding abdomen
dengan plester atau alat fixator lainnya. Gantungkan kantong urin lebih
rendah dari pasien.2,12,30
Permasalahan saat pemasangan kateter uretra. Pada
pembesaran prostat, tahanan akan dirasakan pada saat kateter sudah
masuk sekitar 16-20 cm. Pada pasien seperti ini sebaikknya menggunakan
kateter coudé. Bila kateter tersebut tidak ada, dapat menggunakan
kateter Foley yang lebih besar, 20-24 French. Penggunaan ukuran yang
lebih kecil tidak disarankan.2
Diperlukan konsultasi dengan ahli urologi bila
ditemukan phimosis yang parah atau stenosis meatus atau bila terdapat
tahanan lainnya saat memasukkan kateter. Bila kateter kaku di uretra dan
terdapat darah, mungkin telah terjadi perforasi uretra. Kateter harus
segera dilepas dan dikonsultasikan dengan ahli urologi.2
Komplikasi pemasangan kateter uretra. Infeksi
saluran kemih sering terjadi pada kateterisasi uretra, terjadi 3%
sampai 10% pasien perhari. Sebagian besar bersifat asimptomatik. Namun
ada berkembang menjadi pyelonephritis, bakterimia, dan urosepsis.
Potensi untuk penyakit serius atau kematian adalah nyata, karena
nosokomial infeksi saluran kemih telah terbukti memperpanjang tetap
rumah sakit selama tiga hari dan tiga kali lipat angka kematian pada
pasien kateter. Pasien pada peningkatan risiko infeksi kateter terkait
adalah orang tua dengan diabetes, dan mereka dengan riwayat insufisiensi
ginjal, mengancam nyawa. Cara yang paling efektif untuk mencegah
infeksi saluran kemih adalah untuk menghindari kateterisasi bila
memungkinkan. Jika prosedur harus dilakukan, langkah-langkah pencegahan
termasuk penggunaan teknik aseptik yang ketat, dan pengurangan durasi
kateterisasi. Penggunaan antibiotik profilaksis rutin tidak
menguntungkan dan mendorong proliferasi spesies resisten. Namun,
pengobatan antibiotik harus dipertimbangkan untuk pasien berisiko tinggi
infeksi dan bagi mereka yang sedang menjalani prosedur invasif
tertentu, seperti reseksi transurethral pada prostat dan transplantasi
ginjal.17
Komplikasi lain dari kateterisasi uretra meliputi
paraphimosis dan trauma uretra dan kandung kemih. Terkadang terdapat
kesulitan untuk mengempiskan balon. Hal ini karena obstruksi pada lumen
sekunder atau kerusakan katup. Dalam kasus ini, memotong lengan kateter
dan menghilangkan katup dapat menyelesaikan masalah. Jika gagal,
konsultasikan kepada ahli urologi, karena balonmungkin perlu ditusuk
dengan menggunakan pendekatan suprapubik dan ultrasonografi.17
Hubungan Pemasangan Kateter Uretra dengan Striktur Uretra
Kunci penting permasalahan striktur uretra adalah terbentuknya jaringan parut atau scar
di dalam lumen uretra. Terbentuknya jaringan parut ini adalah sebuah
proses imun tubuh guna memperbaiki kerusakan yang dialami oleh tubuh.
Setidaknya terdapat dua hal yang menyebabkan terbentuknya jaringan
parut, yakni proses inflamasi dan infeksi. Pada beberapa studi juga
menyebutkan sistem saraf berperan pada terjadinya striktur uretra17, namun penelitian itu hanya dilakukan pada tikus percobaan.
Inflamasi pada striktur uretra. Studi pada penggunaan kateter uretra Batch
menyebutkan keterkaitan pembentukan striktur selama penggunaan dengan
peradangan akut dan kronis yang ditandai setelah implantasi subkutan
pada tikus. Tingkat peradangan tidak berkorelasi dengan kekasaran
permukaan kateter yang dinilai dari pemindaian mikroskop elektron,
tetapi menunjukkan hubungan yang sangat baik dengan efek sitotoksik
ekstrak yang larut dari kateter pada makrofag dalam kultur jaringan.
Temuan menunjukkan bahwa pembentukan striktur dapat diinduksi oleh zat
kimia dan tidak mungkin berhubungan dengan kekasaran permukaan kateter.15
Walaupun belum jelas bagaimana zat kimia dapat menyebabkan striktur,
namun diperkirakan berperan penting adalah proses imunitas berupa
inflamasi lokal yang terjadi di lumen uretra.
Beberapa faktor etiologi dimana kateter dapat
menyebabkan striktur uretra telah didiskusikan. Beberapa tahun terakhir
banyak perhatian bahan kateter, terutama lateks, dan perannya dalam
pembentukan striktur. Kateter uretra terbuat dari berbagai bahan
dikombinasikan dengan bahan kimia yang berbeda. Tampaknya seolah-olah
zat kimia dapat larut dari bahan kateter sehingga menyebabkan reaksi
inflamasi. Menggunakan teknik kultur sel dan model hewan yang
diimplantasi dari bahan kateter ke dalam uretra. Studi tersebut menilai
sitotoksisitas secara in vitro (IC50) dan reaksi inflamasi in vivo dari
bahan kateter yang berbeda. Studi ini menegaskan bahwa terutama bahan
lateks tidak memiliki efek sitotoksik dan tidak menyebabkan peradangan
yang cukup di mukosa uretra. Dengan melapisi kateter dengan perak,
sitotoksisitas bisa dikurangi secara signifikan dibandingkan dengan
lateks murni dengan kateter lateks yang dilapisi hidrogel. Beberapa
studi telah menunjukkan efek sitotoksik dari bahan kateter, menunjukkan
bahwa efek ini mungkin penting dalam peradangan uretra. Namun, mekanisme
yang tepat di balik fenomena ini tidak diketahui.16 Dalam
upaya untuk menjelaskan reaksi inflamasi dalam uretra sekunder ke
kateter, penelitian selanjutnya mengarah pada pengaruh sistem saraf pada
peradangan uretra. Hasilnya menunjukkan bahwa suatu bagian penting
dalam peradangan yang disebabkan kateter dimainkan oleh reaksi
neurogenik.17
Kateter yang menjadi keras atau berkerak dan
infeksi adalah kerugian pada pemasangan kateter jangka panjang. Dalam
sebuah penelitian, 77 pasien laki-laki dilakukan pemasangan kateter
secara acak dengan menggunakan 1 dari 3 jenis kateter: 22 kateter
silikon lateks, 28 kateter lateks dilapisisi hidrogel, dan 27 kateter
silikon penuh. Durasi pemasangan kateter rata-rata adalah 2,2 hari.
Reaksi inflamasi uretra dinilai dari spesimen usap sitologi uretra.
Kerak kateter dipelajari dengan menggunakan analisis scanning
elektron mikroskopis (SEM) . Kateter silikon penuh menginduksi
peradangan derajat paling ringan di uretra, persentase rata-rata sel-sel
inflamasi dalam apusan adalah 20%. Pada kelompok yang memakai kateter
lateks nilai hapusannya adalah 36%. Baik usia pasien maupun durasi
kateterisasi memiliki efek pada reaksi inflamasi, yang lebih ditandai
pada pasien dengan kelainan hemodinamik. Kateter yang dilapisi hidrogel
efektif mencegah kerak, sedangkan kateter lateks yang dilapisi silikon
kurang efektif mencegah timbulnya kerak pada permukaan kateter. Reaksi
inflamasi bervariasi pada semua pasien.18
Infeksi pada striktur uretra. Kateter
terkait infeksi saluran kemih tetap menjadi salah satu jenis infeksi
yang paling umum yang didapat di rumah sakit. Kemajuan lebih lanjut
dalam pencegahan memerlukan pemahaman yang lebih baik dari patogenesis.
Bakteri dapat masuk ke kandung kemih melalui kontaminasi ujung kateter
pada saat pemasangan dengan flora dari uretra distal atau dari bakteri
naik dari luar ke bagian dalam kateter. Urin sisa pada kandung kemih
pasien yang terpasang kateter meningkatkan risiko bakteriuria. Selama
proses infeksi, bakteri perlu lebih dahulu menempel dengan sel-sel
epitel saluran kemih dan atau permukaan dari kateter. Mereka kemudian
akan berkembang menjadi biofilm pada permukaan kateter dan tahan
terhadap sistem kekebalan tubuh dan antibiotik. Kateter sendiri dapat
menyebabkan kerusakan fisik langsung ke epitel kandung kemih, kateter
mungkin beracun dan juga menyebabkan peradangan. Bakteri juga dapat
merusak epitel dan menyebabkan peradangan dan kombinasi dari keduanya
mungkin sinergis dalam timbulnya gejala pada pasien.20 Pada
saat peradangan tersebut sembuh dengan terbentuknya jaringan fibrosa,
jika mengurangi luas lumen uretra, akan terjadilah striktur uretra.
Terbentuknya biofilm pada pemasangan kateter juga
menjadi pemicu infeksi pada uretra. Di saluran kemih, dikenal biofilm
terkait infeksi termasuk prostatitis, sistitis kronis, urolitiasis
struvite, dan kateter terkait infeksi. Biofilm melindungi organisme
penyebab dari sistem pertahanan tubuh dan terapi antimikroba.
Pembentukan biofilm secara tradisional telah dianggap hasil dari adhesi
dan pembentukan kapsul oleh mikroorganisme.21 Biofilm ini akan membuat lingkungan yang baik untuk bakteri melakukan invasi dan proliferasi di lapisan epitel uretra.
Pencegahan Striktur Uretra pada Pemasangan Kateter Uretra
Melihat beberapa faktor yang telah dijelaskan
diatas, terdapat solusi untuk mencegah terjadinya striktur uretra atau
paling tidak menurunkan angka morbiditasnya, terutama akibat pemasangan
kateter uretra. Salah satunya yang paling mudah adalah melakukan program
pendidikan kepada tenaga medis. Sebuah studi yang mencoba melakukan
intervensi kepada kelompok sampel guna mencegah terjadinya striktur
uretra. Studi ini dilakukan selama 13 bulan. Pada bualan ke-1 sampai
ke-6 injuri yang diakibatkan oleh kateter dicatat dan dianalisis. Pada
bulan ke-7, dilakukan program pendidikan bagi tenaga medis mengenai
anatomi dasar urologi, teknik pemasangan kateter uretra, dan kateter
yang aman. Bulan ke-8 sampai ke-13 dilihat insiden injuri terkait
kateter. Data sebelum intervensi dan sesudah kemudian dibandingkan.
Didapatkan hasil bahwa sebelum intervensi injuri terjadi dengan insiden
3,2/1000 pasien dengan 1 pasien yang mengalami striktur uretra yang
berulang. Setelah dilakukan intervensi didapatkan data bahwa inseden
terjadinya injuri berkurang menjadi 0,7/1000 pasien (p=0,006) dan tidak
didapatkan striktur uretra. Ini menunjukkan injuri iatrogenik pada
pemasangan kateter dapat dicegah sehingga angka morbiditas pasien di
rumah sakit turun. 22
Infeksi sebagai salah satu pencetus terjadinya
striktur juga dapat dicegah. Pencegahan dapat diawali dengan sebuah
sistem dimana tenaga medis yang melakukan kateterisasi diingatkan bahwa
kateter masih terpasang dan bila tidak diperlukan dapat dilepas. Selain
itu tenaga medis diingatkan untuk mengganti kateter yang telah terpasang
pada interval tertentu dan bila tenaga medis itu bukan dokter dapat
menggantinya tanpa persetujuan dokter. Pada sebuah studi metanalisa
mendapatkan hasil dengan dilakukan intervensi angka kejadian infeksi
saluran kencing terkait kateter berkurang sebesar 52% (P=0,001). Secara
keseluruhan durasi pemasangan kateter berkurang 37%, 2,61 hari lebih
sedikit pada pasien dengan intervensi. Sedangkan pada studi dengan
intervensi penggantian kateter tidak ditemukan perbedaan sebelum dan
sesudah intervensi. 23 Bahan kateter juga dijadikan pertimbangan. Kateter yang dilapisi silver mengurangi angka kejadian infeksi terkait kateter.25 Dengan
berkurangnya durasi kateterisasi dan angka kejadian infeksi saluran
kemih terkait kateter maka kemungkinan pasien menjadi striktur uretra
juga berkurang.
Pada guideline26 eropa dan asia
menyebukan langkah-langkah untuk mencegah infeksi terkait kateter.
Langkah-langkah tersebut adalah (1) sistem kateter harus tetap tertutup,
(2) durasi pemasangan kateter haruslah seminimal mungkin, (3)
antiseptik atau antibiotik topical pada kateter, uretra, atau meatus
tidak direkomendasikan, (4) walaupun keuntungan profilaksis antibiotik
dan antiseptik telah terbukti, tidak direkomendasikan, (5) pelepasan
kateter sebelum tengah malam setelah prosedur operasi non-urologi
mungkin bermakna, (6) pada pemasangan jangka panjang sebaiknya kateter
diganti secara teratur, walaupun belum ada bukti ilmiah interval
penggantian kateter, dan (7) terapi antibiotik kronis tidak disarankan.
Tidak ada konsensus mengenai waktu kapan
penggantian kateter rutin harus dilakukan. Hal ini dapat dilihat pada
instruksi pabrik. Periode yang lebih pendek mungkin diperlukan jika ada
kerusakan atau kebocoran kateter. Secara umum, pemakaian jangka panjang
kateter harus diganti sebelum terjadi penyumbatan. Waktu untuk melakukan
penggantian berbeda dari satu pasien ke pasien lain.
Berbagai macam tindakan medis dapat menyebabkan
striktur uretra, salah satunya adalah internal urethrotomy. Striktur
dapat dicegah dengan melakukan kateterisasi sendiri secara periodik.
Pasien diminta melakukan kateterisasi sendiri secara berkala setiap hari
atau tiap seminggu sekali. Studi menyebutkan, dengan melakukan ini
secara signifikan (P<0,01) striktur uretra berulang lebih sedikit
pada tahun pertama post-operasi. Tidak terdapat komplikasi yang tercatat
pada studi ini.24 Mitomycin C disebut dapat mencegah
striktur uretra pula. Mitomycin C memiliki sifat antifibroblast dan
anticollagen dan dalam laporan pada hewan disebutkan mampu meningkatkan
tingkat keberhasilan trabeculectomy dan miringotomi. Dengan menyuntikkan
mitomycin C pada submukosa uretra pada saat internal urethrotomy
didapatkan penurunan striktur uretra berulang (p=0,006).29
Penggunaan alat seperti sumpit yang terbuat dari baja telah dilaporkan
di Cina. Metode ini merupakan metode dimana pasien melakukan dilatasi
uretra sendiri. Pemakaian sumpit ini dilakukan setelah dilakukan
urethrotomy dengan ukuran 18 French. Seberapa dalam penggunaan
sumpit ini ditentukan oleh lokasi striktur. Tidak ada striktur uretra
berulang yang dilaporkan pada laporan ini.29
Beberapa tindakan dapat dilakukan untuk mencegah
trauma uretra iatrogenik. Rekomendasi yang diberikan eropa adalah
mencegah kateterisasi yang beresiko trauma, durasi pemasangan kateter
dilakukan seminimal mungkin, dan pada saat melakukan operasi abdomen
atau pelvis harus dilakukan dengan kateter uretra terpasang sebagai
struktur protektif.27
Simpulan
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra
akibat jaringan parut. Striktur uretra merujuk pada penyakit uretra
anterior, atau proses yang melibatkan jaringan parut pada jaringan
korpus spongiosum (spongiofibrosis). Striktur diawali dengan trauma pada
lumen uretra yang diikuti proses penyembuhan dan kontaksi bekas luka
tersebut mengurangi ukuran lumen uretra.
Kateterisasi uretra merupakan tindakan invasif
yang wajib dikuasai dokter umum maupun tenaga medis yang lain.
Pemasangan kateter haruslah dilakukan dengan langkah-langkah yang benar.
Pemasangan kateter uretra adalah tindakan pertama kali yang dilakukan
pada pasien dengan retensi urin akut. Sebagai tindakan invasif,
pemasangan kateter ini tentu memiliki resiko. Salah satunya adalah
terjadinya striktur uretra.
Faktor-faktor yang menghubungkan pemasangan
kateter uretra dengan striktur uretra adalah proses inflamasi dan
infeksi. Patogenesis terperinci mengenai infeksi menyebabkan striktur
uretra belum jelas. Namun kebaradaan infeksi pada lumen uretra tentu
akan berlanjut pada proses penyembuhan, yaitu inflamasi. Jaringan
fibrosa yang dihasilkan pada proses inflamasi bertanggung jawab terhadap
terjadinya striktur uretra.
Striktur uretra yang disebabkan tindakan
iatrogenik dapat dicegah, khususnya pada pemasangan kateter. Guideline
yang ada telah memberikan arahan bagaimana mencegah striktur uretra
dengan pendekatan dua faktor diatas. Pencegahan dapat berupa dari yang
paling mudah adalah mengingatkan tenaga medis tentang pemasangan kateter
sampai penggunaan kateter yang terbuat dari bahan tertentu. Institusi
dapat membuat peraturan dimana akan mengingatkan tenaga medis bahwa
kateter masih terpasang dan bila tidak diperlukan dapat dilepas. Selain
itu tenaga medis diingatkan untuk mengganti kateter yang telah terpasang
pada interval tertentu dan bila tenaga medis itu bukan dokter dapat
menggantinya tanpa persetujuan dokter. Pasien dengan resiko tinggi
terjadi infeksi sebaiknya menggunakan kateter yang dilapisi silver.
DAFTAR PUSTAKA
1. Thomsen,Todd W. , and Setnik, Gary S. Male Urethral Catheterization. N Engl J Med 2006;354:e22.
2. Gousse, Angelo E.,et al. Urethral Strictures in Males. Avaible from: http://emedicine.medscape.com/article/450903-overview. (Akses: 29 Desember 2011)
3. Wein. Urethral Stricture Disease. In. Campbell-Walsh Urology, 9th ed. Wein, Alan J. Et al (editor) Saunders Elsevier, 2007.
4. McAninch, Jack W. Disorders of the Penis & Male Urethra. In: Smith’s General Urology, 17thed. Tanagho, Emil A., and McAninch, Jack W. (editor) McGraw-Hill, 2008.
5. Sugandi, Suwandi. Pola Penyakit Striktur Uretra Dan Penanganannya Di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. MKB 2003;Vol.35 No.2
6. Mathur, Rajkumar, et al. Comprehensive Analysis of Etiology on the Prognosis of Urethral Strictures. International Braz J Urol. 2011;Vol 37 (3): 362-370
7. Shlamovitz, Gil Z, et al. Urethral Catheterization in Men. Avaible from: http://emedicine.medscape.com/article/80716-overview#showall. (Akses: 29 Desember 2011)
8. Lumen, Nicolaas, et al. Etiology of Urethral Stricture Disease in the 21st Century. The Journal of Urology. 2009; Vol 182, Issue 3 , Pages 983-7.
9. Milroy, Euan, and Allen, Alison. Long-Term Results of Urolume Urethral Stent for Recurrent Urethral Strictures. The Journal of Urology.1996;Vol 155, Issue 3 , Pages 904-8.
10. Steenkamp,J.W., Heyns, C.F., and Kock, M.L.S. de.I nternal Urethrotomy Versus Dilation as Treatment for Male Urethral Strictures: A Prospective, Randomized Comparison. The Journal of Urology.1997;Volume 157, Issue 1, Pages 98-101.
11. Riyadi, Muskhab E. Hubungan antara lama waktu terpasang kateter dengan tingkat kecemasan pada klien yang terpasang kateter uretra di bangsal rawat inap dewasa kelas III RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta. 2006.
12. Shlamovitz, Gil Z, et al. Urethral Catheterization in Men. Avaible from: http://emedicine.medscape.com/article/80716-overview#showall. (Akses: 29 Desember 2011)
13. Gartner, Leslie P., and Hiatt, James L. Color Textbook of Histology, 3rd eds. Saunders Elsevier. 2007.
14. Mundy, Anthony R. and Andrich, Daniela E. Urethral strictures. BJU International. 2010;107,6-26.
15. Wilksch J, et al. The role of catheter surface morphology and extractable cytotoxic material in tissue reactions to urethral catheters. Br J Urol. 1983 Feb;55(1):48-52.
16. Liedberg H. Catheter induced urethral inflammatory reaction and urinary tract infection. An experimental and clinical study. Scand J Urol Nephrol Suppl. 1989;124:1-43.
17. Nordling L, Liedberg H, Ekman P., et al. Influence of the nervous system on experimentally induced urethral inflammation. Neurosci Lett. 1990 Jul 31;115(2-3):183-8.
18. Talja M, Korpela A, Järvi K. Comparison of urethral reaction to full silicone, hydrogen-coated and siliconised latex catheters. Br J Urol. 1990 Dec;66(6):652-7.
19. Tijani KH, Adesanya AA, Ogo CN. The new pattern of urethral stricture disease in Lagos, Nigeria. Niger Postgrad Med J. 2009 Jun;16(2):162-5.
20. Barford, JMT and Coates, ARM. The pathogenesis of catheter-associated urinary tract infection. Journal of Infection Prevention March 2009;vol. 10 no. 2:50-56.
21. Morris NS, Stickler DJ, McLean RJ. The development of bacterial biofilms on indwelling urethral catheters. World J Urol. 1999 Dec;17(6):345-50.
22. Kashefi C, Messer K, Barden R, et al. Incidence and prevention of iatrogenic urethral injuries. J Urol. 2008 Jun;179(6):2254-7.
23. Meddings, Jennifer, Rogers, Mary A. M. , Macy,Michelle, et all. Systematic Review and Meta-Analysis: Reminder Systems to Reduce Catheter-Associated Urinary Tract Infections and Urinary Catheter Use in Hospitalized Patients. Clin Infect Dis. (2010);51 (5): 550-560.
24. Kjaergaard B, Walter S, Bartholin J, et al. Prevention of urethral stricture recurrence using clean intermittent self-catheterization. Br J Urol. 1994 Jun;73(6):692-5.
25. Schumm K. and Lam TB. Types of urethral catheters for management of short-term voiding problems in hospitalized adults: a short version Cochrane review. Neurourol Urodyn. 2008;27(8):738-46.
26. Tenke, Peter, Kovacs, Johansen, Bela Truls E. Bjerklund, et al. European and Asian guidelines on management and prevention of catheter-associated urinary tract infections. International Journal of Antimicrobial Agents 31S;2008:S68–S78.
27. Martı´nez-Pin˜eiro, Luis, Djakovic, Nenad, Plas, Eugen, et al. EAU Guidelines on Urethral Trauma. European Urology; 2010.5 7:791–803.
28. Mazdak, Hamid, Meshki, Iraj, and Ghassami, Fatemeh. Effect of Mitomycin C on Anterior Urethral Stricture Recurrence after Internal Urethrotomy. European Urology ;2007.51:1089–92.
29. Lin, Yu-Hung, Huang, William Ji-Sien , Chen, Kuang-Kuo. Using Stainless Steel Chopstick for Self-performing Urethral Sounding in Preventing Recurrence of Anterior Urethral Stricture. J Chin Med Assoc .2006;69(4):189–192.
30. M. Beynon, T. de Laat, J. Greenwood. Urethral Catheterization Section 1: Male Catheterization. European Association of Urology Nurses. 2005
31. Purnomo BB., Seto S. Striktur Urethra. Dalam: Dasar-Dasar Urologi. Edisi Kedua. Penerbit fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Malang. 2003; 153 – 6.
Sumber: disini
Am Richard, I am here to testify about a great herbalist man who cured my wife of breast cancer. His name is Dr Imoloa. My wife went through this pain for 3 years, i almost spent all i had, until i saw some testimonies online on how Dr. Imoloa cure them from their diseases, immediately i contacted him through. then he told me the necessary things to do before he will send the herbal medicine. Wish he did through DHL courier service, And he instructed us on how to apply or drink the medicine for good two weeks. and to greatest surprise before the upper third week my wife was relief from all the pains, Believe me, that was how my wife was cured from breast cancer by this great man. He also have powerful herbal medicine to cure diseases like: Alzheimer's disease, parkinson's disease, vaginal cancer, epilepsy Anxiety Disorders, Autoimmune Disease, Back Pain, Back Sprain, Bipolar Disorder, Brain Tumor, Malignant, Bruxism, Bulimia, Cervical Disc Disease, Cardiovascular Disease, Neoplasms , chronic respiratory disease, mental and behavioral disorder, Cystic Fibrosis, Hypertension, Diabetes, Asthma, Autoimmune inflammatory media arthritis ed. chronic kidney disease, inflammatory joint disease, impotence, alcohol spectrum feta, dysthymic disorder, eczema, tuberculosis, chronic fatigue syndrome, constipation, inflammatory bowel disease, lupus disease, mouth ulcer, mouth cancer, body pain, fever, hepatitis ABC, syphilis, diarrhea, HIV / AIDS, Huntington's disease, back acne, chronic kidney failure, addison's disease, chronic pain, Crohn's pain, cystic fibrosis, fibromyalgia, inflammatory Bowel disease, fungal nail disease, Lyme disease, Celia disease, Lymphoma, Major depression, Malignant melanoma, Mania, Melorheostosis, Meniere's disease, Mucopolysaccharidosis, Multiple sclerosis, Muscular dystrophy, Rheumatoid arthritis. You can reach him Email Via drimolaherbalmademedicine@gmail.com / whatsapp +2347081986098 Website/ www.drimolaherbalmademedicine.wordpress.com
BalasHapus